"Sayang, Sevda ikut Mas ke rumah atau nunggu di sini?" tanya Aman pagi itu, tangannya sibuk mengancingkan kemeja, pantatnya mesra bersentuhan dengan kursi empuk di dalam kamar mereka yang nyaman.
Kamar ini dulu adalah kamar Sevda semasa gadis, menjadi kamar pengantin, sekarang kamar mereka berdua sebagai suami istri. Sayangnya kamar ini belum merekam sejarah malam pengantin yang katanya indah.
Kamar yang besar dengan tempat tidur nyaman berukuran queen size, lemari besar yang dipenuhi baju-baju bagus dan kamar mandi dalam bernuansa putih. Ada jendela besar menghadap taman kecil, dengan teras di depannya, dilengkapi kolam ikan koi yang selalu berbunyi gemericik, membentuk suasana nyaman yang membuat siapa saja betah berada di dalamnya.
Pagi itu Aman bermaksud pulang ke rumahnya sendiri untuk mengurus usaha keripik singkong Amanda yang semakin berkembang, makanya minta persetujuan Sevda.
Namun Sevda tidak menjawab, malah menghampiri suaminya, lalu duduk di pangkuan Aman dengan mengempaskan pantatnya, Aman kaget. Untung berat badan Sevda tak seberat pemain Sumo, jadi cukup menyelamatkan paha Aman dari penyok atau penyet.
Cara Sevda duduk ditambah wajah manyunnya membuat Aman menangkap bila istrinya lagi ngambek.
"Hmm ... wangi sekali," kata Aman mencium aroma yang baru mandi itu.
"Memangnya Mas musti ke sana?" tanya Sevda sambil menempelkan pipinya ke hidung suaminya, membuat Aman jadi tertawa geli.
"Ini minta dicium atau minta dijawab pertanyaannya, atau dua-duanya?" batin Aman, tapi dia paham apa yang membuat Sevda nggondok.
"Ya, tidak harus, bisa Mas pantau dari sini," kata Aman dengan pipi Sevda masih menempel di hidungnya.
"Kalau begitu, di sini saja gimana?" rayu Sevda sambil melingkarkan kedua lengannya ke leher suaminya.
"Kalau di sini saja ...." Aman tidak melanjutkan ucapannya.
"Kalau di sini saja kenapa? bosan lihat Sevda terus ya? Masak baru menikah sudah mikirin kerjaan? Karyawan saja dapat cuti menikah, kenapa Mas malah ...," kata Sevda dengan jengkel, perasaannya sudah berhasil keluar dengan jujur, kelihatan jelas betapa ngambeknya dia.
"Ya Allah, ini perempuan lagi menstruasi isinya sensi melulu," batin Aman gemas.
"Ya sudah, Mas di sini saja," kata Aman.
"Masak di sini saja tapi pakai diminta dulu sama Sevda? Bukan mau Mas sendiri?" kata Sevda masih merajuk dan masih saja membuat Aman merasa disalahkan.
"Sayang, Mas musti gimana sih? Sevda minta Mas di sini, sudah dituruti, masih saja salah," kata Aman, nada suaranya seperti menahan marah.
"Karena Mas mikirin kerjaan terus di saat bersama Sevda," kata Sevda.
"Kalau nggak mikirin kerjaan, memangnya suruh mikirin apa? Mikirin cewek lain? Sevda mau itu?" kata Aman tak sabar dan siap mengeluarkan stok kalimat selanjutnya. "Sevda jangan egois dong, mengharuskan semua sesuai dengan apa yang dipikirkan Sevda. Mas bukan Tuhan yang tahu isi hati orang lain," kata Aman sudah mulai meninggi nada suaranya.
Sevda turun dari pangkuan suaminya, lalu bilang, "Tapi Sevda bukan orang lain! Sevda 'kan istri Mas. Sevda cuma butuh diperhatikan."
"Kurang apa sih perhatian Mas ke Sevda? Minta pulang ke sini, Mas turuti, minta Mas nggak mikirin kerjaan, Mas turuti, minta Mas nungguin Sevda di sini, Mas turuti. Sevda itu nggak mau tahu sama sekali dengan kebutuhan Mas, cuma mikirin diri sendiri!" kata Aman kasar.
Untuk pertama kalinya Sevda mendengar Aman berkata kasar, deras pula layaknya hujan di bulan November. Bertahun-tahun mengenal Aman yang selalu bersikap lembut, melindungi, baik hati, selalu mengalah dan menurutinya. Perkataan Aman membuatnya kaget, amat sangat kaget dan kecewa. Sevda tak bisa menahan tangisnya, dia terisak sambil nungging di atas tempat tidur. Melihat itu Aman merasa sangat bersalah
"Maafkan Mas, ya, Sayang," kata Aman lalu membelai rambut dan punggung Sevda. Dalam hati Aman geli juga, melihat cara Sevda menangis sambil nungging, persis anak kecil.
"Bilang sekali lagi kalau Sevda egois! Ayo bilang saja!" kata Sevda keras-keras.
"Nggak kok, Mas yang egois, maafkan ya," kata Aman.
"Sudah sadar sekarang kalau Mas egois?" tanya Sevda.
"Iya, maafkan Mas ya. Sini sayangku, istriku, cantikku," kata Aman sambil meraih tubuh Sevda dan meletakkannya kembali ke pangkuan.
"Mas bahkan nggak mikirin bulan madu, padahal kita berdua dapat hadiah berbulan madu ke Bali dari Bapak. Mas itu sudah egois, nggak menghargai pemberian orang pula," kata Sevda sambil cemberut level sepuluh.
"Mengapa nggak bilang baik-baik kalau Sevda ingin Mas mikirin bulan madu? Kukira Sevda saja yang mikirin, Mas ikut saja," kata Aman.
"Memangnya yang mau pergi bulan madu Sevda sendirian? Mas ini gimana sih?" kata Sevda. "Mas itu kepingin kita berbulan madu apa nggak sih?" lanjut Sevda ngambek lagi.