Ada ungkapan umum yang terkadang menjadi pembenaran sikap seseorang, 'manusia adalah tempatnya salah dan lupa'. Bila tidak demikian, maka bukan manusia namanya, bisa jadi malaikat, tumbuhan, atau jasad renik bersel satu. Bahkan jasad renik yang tak kasat mata pun berbuat salah karena menyebabkan penyakit, begitulah kata manusia yang selain sering berbuat kesalahan, juga gemar menyalahkan hal lain di luar dirinya.
Lupa, terkadang pula membuat seseorang melakukan kesalahan yang itu lagi dan itu lagi, apalagi buat seorang Aman yang hasrat biologisnya belum tersalurkan di masa yang semestinya menjadi pengalaman indah buatnya.
Seharian Aman hanya menunggui Sevda, sesekali meladeni telepon dari tempat usahanya. Ada saja masalah di Amanda keripik, yang bahan baku nggak datang-datang sampai masalah karyawan. Ada karyawan bagian packaging tidak masuk sampai tidak mencukupi untuk mengerjakan pesanan yang harus dipaketkan hari ini.
Biasanya Aman yang menggantikan posisi karyawan yang tidak masuk, tetapi dalam keadaan Sevda habis ngambek dan butuh perhatian seperti ini, mana bisa Aman berkutik. Sevda lebih penting karena itu menyangkut 'surga dan nerakanya'.
Aman tak bisa konsentrasi mengerjakan hal lain kalau ada masalah dengan Sevda. Maka solusinya karyawan yang bagian produksi dipindah sementara ke packaging. Solusi semudah itu pun masih membutuhkan pendapat Aman. Aman musti menata lagi alur pekerjaan di organisasi usahanya sebelum berangkat ke Bali.
Namun hari itu Aman harus membicarakan rencana bulan madu mereka ke Bali, sebelum ada 'semburan' gunung meletus dari istri tersayangnya itu. Aman benar-benar diuji kesabarannya menghadapi Sevda yang kelewat manja dan minta perhatian penuh darinya.
Menghadap komputer berdua, terbuka halaman peta pulau Bali di layarnya. Aman mencatat rencana perjalanan mereka di kertas, mulai dari rute perjalanan, mencari hotel di internet, tempat rekreasi mana saja tujuan mereka, juga rute pulang.
"Pokoknya Sevda mau nonton sendratari di Garuda Wisnu Kencana, itu wajib ya, Mas," kata Sevda sambil ikut mengamati tujuan-tujuan wisata pulau Bali di internet. Aman browsing, mencatat, mengecek di telepon genggamnya aplikasi pemesanan hotel, dengan Sevda duduk di pangkuannya sampai paha Aman terasa kebas.
"Sayang, bisa berdiri sebentar? Mas kesemutan nih," kata Aman. Sevda berdiri dengan cepat lalu berjalan ke luar kamar. Getaran rasa dingin langsung mengaliri paha Aman, seperti mengucap terima kasih pada sesuatu yang telah lepas menghimpitnya.
Namun gerakan cepat Sevda yang berjalan meninggalkan kamar membuat Aman mengira Sevda ngambek lagi gara-gara diminta turun dari pangkuan. Aman menoleh dan mengintip Sevda dari tirai kamar yang terbuka sedikit, ternyata Sevda hanya ke dapur untuk mengambil air putih.
"Mas haus 'kan? Ini aku bawakan air putih," kata Sevda kelihatan baik hati dan manis.
"Oh, makasih, Cinta," kata Aman lalu meminum air putih yang diulurkan Sevda.
"Mas, Sevda mau ke GWK pokoknya," kata Sevda ngotot.
"Ya, Sayang, ini Mas lagi cek di internet, nih ada jam-jamnya, beda jam beda pertunjukan. Sevda mau lihat tari-tarian, sendratari, joget bumbung. Apa itu joget bumbung?" tanya Aman.
"Ya tarian yang diiringi gamelan dari bambu."
"Seperti angklung?"
"Ya beda, kalau gamelan bumbung itu dipukul seperti kulintang, kalau angklung 'kan dibunyikannya digerakkan gini," kata Sevda sambil memperagakan cara memainkan angklung.
"Oh, Sevda mau nonton apa?"
"Apa saja, yang penting ada pertunjukannya, masukkan ke daftar. Makasih ya Mas," kata Sevda sambil mencium pipi Aman, lalu kembali minta duduk di pangkuan suaminya.
"Sayang, kalau Sevda di sini, Mas nggak bisa konsentrasi nih, bawaannya pingin ngegemesin Sevda aja," kata Aman sambil melancarkan 'serangan'nya, semula mengacak-acak rambut Sevda dengan hidungnya, lalu beralih ke tengkuk, ke leher ....
"Auw!" Sevda terkikik kegelian, lalu berdiri dan berjalan menjauh. Aman tertawa dalam hati, ternyata tak perlu kata-kata untuk 'mengusir' Sevda dari pangkuannya, cukup dengan 'digemesin' saja, maka pergilah dia dengan sukarela.
"Jadi Sevda masih pingin ke Pantai Pasir Putih Situbondo nih? kita lewat Banyuwangi mampir mana?" tanya Aman. "Di Banyuwangi ada Pantai Watudodol di rute yang kita lewati."
"Masak dari pantai ke pantai lagi, cukup mampir ke Pasir Putih saja, ke Banyuwanginya mampir Pelabuhan Ketapang," kata Sevda, sekarang dia berdiri di belakang suaminya sambil ikut melihat komputer, kedua lengannya melingkari leher Aman. Wajah Sevda hanya berjarak beberapa centi dari wajah Aman, membuat Aman mengalihkan pandangnya dari komputer, memutar kepalanya ke samping dan mencium pipi Sevda dengan lembut
"Ya tentulah, kalau di Banyuwangi ya lewat Ketapang, kecuali mobil kita punya sayap," kata Aman, Sevda tertawa membayangkan mobilnya ditempeli sayap burung elang raksasa.
"Jadi kita berangkat dari Malang ke Situbondo, mampir Pasir Putih, kita nginap semalam di Banyuwangi ya, biar Mas nggak capek, lanjut nyeberang, langsung ke Denpasar, ke Art Center 'kan mau Sevda? nginap di Denpasar."
"Ya. Belanja-belanja apa gitu di Denpasar ya, Mas."
"Boleh, sambil menikmati suasana kota. Hmm ... kalau belanjanya ke pasar seni Sukawati gimana? Terkenal 'kan? Dekat dengan Denpasar juga. Ke pantai Sanur nggak?"
"Nggak nutut waktunya, nggak perlu ke Sanur deh, Mas, ke pantainya ke Kuta saja, atau tidak perlu ke pantai, 'kan sudah ke pantai Pasir Putih."
"Hmm ... baik, kayaknya kita nginap tiga malam deh di Denpasar, soalnya dari Denpasar kalau mau ke Kuta dekat saja kok, ke Sukawati juga dekat. Ke GWK juga masih nutut kalau ditempuh dari Denpasar," kata Aman sambil melihat peta pulau Bali di komputer.
"Kalau kita berubah pikiran, ke tempat lainnya juga tak terlalu jauh, ke Ubud misalnya hanya dua puluhan kilometer," lanjut Aman.