Pagi merekah sempurna ketika Sevda terbangun dari tidurnya. Masih bau selimut dan matanya belum membuka penuh, tetapi Aman sudah menghujaninya dengan ciuman. Insight yang diperolehnya kemarin menumbuhkan perasaan kasih yang lebih mendalam. Masih ada penyesalan karena telah membuat Sevda menangis, Aman ingin menebusnya dengan membahagiakan Sevda, apa pun akan dilakukannya untuk Sevda, juga bertekad lebih berhati-hati mengawasi permainan ego yang kerap mengalahkannya.
"Ayo bangun Putri tidur, Pangeran sudah wangi nih," ucap Aman sambil menatap mesra wajah Sevda yang cantik terbias cahaya pagi.
"Sevda 'kan mens." Dari dulu Sevda memang suka menggunakan menstruasi sebagai alasan untuk bangun kesiangan. Lupa bila sekarang punya suami yang musti diladeni dan diurus.
"Oh, kalau mens tidak perlu bangun pagi, begitukah?"
"He-em," jawab Sevda sambil menganggukkan kepala plus tersenyum nakal.
"Tapi Mas sudah lapar, sarapan yuk!" kata Aman.
Hampir saja Sevda bilang, 'Mbak Kat 'kan sudah menyiapkan sarapan jam segini?' Untungnya Sevda segera ingat, Aman suaminya, bukan suami Mbak Kat. Masak Mbak Kat yang menyiapkan sarapan sekaligus menemaninya makan? Kalau suaminya diambil Mbak Kat bagaimana? Di mana lagi Sevda bisa menemukan manusia seasyik Aman? Sevda jadi tersenyum geli menertawakan jalan pikirannya sendiri.
Mengingat itu, Sevda langsung melompat memeluk Aman, mencium suaminya yang sudah wangi, lalu bilang, "Gendong dulu ke kamar mandi." Dan Aman menurutinya pasti, istri satu-satunya, masih baru lagi.
"Perlu dimandiin juga nih?" goda Aman.
"Nggak. Malu."
"Masak sama suami sendiri malu?" Aman masih menggodanya dan tak kunjung keluar dari kamar mandi.
"Maaas! Keluar sana! Sevda mau mandi dulu," kata Sevda sambil mendorong tubuh Aman ke luar.
Pagi itu sudah jam delapan lebih saat mereka sarapan berdua, dengan menu andalan, tempe, tahu dan telur penyet. Biarpun makan dengan menu sederhana, tetap terasa nikmat. Asal bersama kekasih, semua menjadi terasa indah saja.
Dengan sangat hati-hati, setelah menelan suapan terakhir sarapan paginya, Aman menanyai Sevda, "Sayang, nanti kita ke rumah Mas?" Tak jelas itu bertanya untuk minta pertimbangan, memberi tahu atau mengajak. Masih ada rasa khawatir Sevda menolak diajak ke rumahnya.
"Ya. Boleh." Jawaban yang membuat Aman lega. Sevda pun meneruskan, "Sambil memberi tahu tetangga Mas tentang pesan yang disampaikan arwah semalam." Sevda menyodorkan segelas air putih ke suaminya, lalu mengambil segelas lagi buatnya sendiri. Tangannya masih memegang gelas, tak kunjung meneguknya, wajahnya serius terlihat memikirkan sesuatu.
"Tapi gimana cara ngasih tahunya? Apa mereka percaya sama Sevda? Mereka juga baru tahu Sevda, bahkan belum sempat berkenalan secara pribadi, mendadak ikut campur urusan mereka," kata Sevda mengungkapkan keraguannya.
"Soal itu serahkan Emak saja. Beres mah kalau sama Emak. Dia jagonya," kata Aman meyakinkan.
"Emak 'kan perempuan? Masak dibilang jago?"
"Oh iya, Emak babonnya," kata Aman lucu, Sevda tertawa.
Pagi yang hangat, mereka berdua meluncur ke rumah Aman berboncengan naik sepeda motor. Dengan riang Sevda memeluk pinggang suaminya, lalu berbisik, "Mas, kalau Mama tahu Sevda naik motor, palingan disuruh turun nih, lalu dibilangin 'ntar masuk angin, Sevda' ... hihi."
"Kalau Mama bilang begitu, jawab saja, kalau masuk angin 'kan bisa dikeluarkan lagi jadi kentut."
"Iiih! Mas sih, Raja Kentut. Awas kalau kentut pas mbonceng Sevda," kata Sevda sambil mencubit perut suaminya. Aman malah merasakan nikmat dicubit jemari lentik itu, terasa hangat dan membahagiakan.
"Mana berani Mas kentut di depan Sevda, tunggu nanti kentut dari samping ... haha," jawab Aman. Akibatnya, Sevda mencubit paha Aman dengan keras, sampai Aman mengaduh kesakitan, kali ini rasanya benar-benar sakit, tapi hanya di fisik saja, hati Aman tetap terasa hangat.
Aman memang benar-benar tak berani kentut di dekat Sevda, karena pernah melakukannya, lalu Sevda merajuk dan tak mau diajak bicara berjam-jam, perlu usaha keras merayu Sevda untuk berbaikan lagi. Urusan kentut di depan Sevda bisa menjadi masalah serius buat Aman.
Sevda sendiri kalau kentut di dekat Aman, cuma bilang, "Maaf ya, Mas. Sevda kentut." Sedang Aman hanya bisa menutup hidungnya. Mau merajuk dan menirukan gaya Sevda ngambek? Bisa pecah perang dunia ke dua belas. Mengalah dan lagi-lagi mengalah, itu sudah menjadi pola hubungan mereka berdua. Mengalah bukan berarti kalah, itu hanya sebuah strategi untuk menang.
Entah mengapa orang lebih suka menang dibandingkan kalah, bahkan rela melakukan apa saja untuk itu. Bila hidup dimaknai sebagai sebuah pertandingan, ya kadang menang, kadang kalah, itu bukan masalah besar, ada waktunya menang dan ada waktunya kalah. Namun hidup bukanlah sebuah pertandingan, apalagi hidup berumah tangga. Kehidupan rumah tangga adalah harmoni, saling melengkapi untuk memenangkan kehidupan ini bersama-sama.
Masih dengan perasaan yang hangat dan bahagia, Aman mengemudikan sepeda motornya hanya menggunakan tangan kanan, karena tangan kirinya memegang tangan Sevda yang melingkar di atas perutnya. Mereka menuju tujuan yang sama dengan kemesraan yang manis. Itulah harmoni.
Sampai di rumah Aman, karyawan sudah pada datang, mereka sudah memposisikan diri di tempatnya masing-masing. Namun mendadak heboh ketika melihat bos dan istrinya datang. Langsung terdengar celoteh ibu-ibu dan remaja putri dari pabrik kecilnya, karyawan cowoknya hanya diam dan tersenyum saja.
"Bau tempat ini langsung wangi semerbak," goda mereka.
"Kedatangan penglaris nih, pengantin baru. Makanya kemarin tidak ke sini, ternyata masih honimun."
"Hush! Jangan goda Mas Aman, nanti kamu nggak dapat bonus loh!"