Menunggu, itu sesuatu yang menjemukan kata orang-orang, tetapi manusia suka sekali menunggu. Menunggu gajian bulan depan, menunggu cukup umur, menunggu sukses, menunggu naik pangkat. Ketika kecil menunggu besar, ketika besar menunggu dewasa, yang dewasa menunggu tua, yang tua menunggu ajal. Apakah itu berarti menunggu tak sesuram itu karena semua melakukannya? Bahkan hari ini pun, di detik ini pun.
Berarti nilainya terletak pada apa yang bergejolak di dalam jiwa. Saat menunggu, adakah sukacita atau ketidaksabaran? Rasa jemu atau menikmatinya atau bahkan melupakannya?
Aman dan Sevda mungkin melupakannya, kebersamaan yang indah membuat mereka lupa pada apa yang mereka tunggu. Perselisihan antara keduanya sudah jarang terdengar, hanya sesekali sebagai bumbu penyedap, setelah itu mesra lagi. Hingga empat hari kemudian sejak mereka mendatangi rumah keluarga almarhum Pak Gunadi, berita itu datang.
Ketika pagi itu Aman tengah menyiram bunga di halaman depan, Mbak Kat datang dan mengulurkan telepon genggamnya yang berdering. Wajah Mbak Kat datar, terkesan buru-buru, barangkali tak rela meninggalkan kompor yang menyala dengan penggorengan di atasnya demi mengantar telepon genggam sang majikan.
"Makasih, Mbak Kat," kata Aman, tetapi dering telepon itu sudah berhenti ketika berada di tangannya. Dibacanya nomor kontak yang menghubunginya, Bu Gunadi, Aman bermaksud menelepon balik, tetapi ada pesan masuk dari orang yang sama:
Terimakasih Mas Aman, alhamdulillah sudah tertunaikan.
Aman membalas: Sama-sama, Bu.
Dalam hati Aman membatin, 'Tertunaikan apa?' Namun Aman tak enak bila menanyakannya, mungkin tertunaikan membayar hutang almarhum Pak Gunadi. Aman bermaksud melanjutkan acara menyiram bunganya.
Telepon genggamnya berbunyi lagi, notifikasi pesan masuk, diletakkannya lagi selang air di tangannya, mengambil telepon genggam yang tadi ditaruhnya di atas meja teras.
Bu Gunadi: Setelah Mas Aman dan Mbak Sevda datang, besoknya adikku langsung mencari tahu ke Ngadirjo. Belum bertemu orangnya, dua hari kemudian baru mendapat jawaban. Ternyata benar, almarhum Mas Gunadi punya hutang pada seorang teman di sana. Alhamdulillah, kami sudah melunasi hutang beliau. Terima kasih banyak untuk informasinya. Salam buat Mbak Sevda.
'Sevda pasti senang mendengar berita ini,' pikir Aman, urung melanjutkan acara siram-siramnya.
"Mbak Kat, tolong lanjutkan yang di depan ya," kata Aman pada Mbak Kat di dapur sebelum masuk kamar, menemui 'sleeping beauty' tersayang. Mbak Kat melirik Aman dengan wajah cemberut, membatin, 'Mengapa tadi menawarkan diri membantu bila tak sampai selesai?'
Tentu saja Aman tak mendengar jeritan hati Mbak Kat, itu bukan hal penting juga baginya. Pelan-pelan Aman membuka pintu kamar, mengira Sevda masih tidur. Yang dilihatnya, Sevda berjalan keluar dari balik lemari besar yang menyembunyikan toilet di belakangnya. Masih mengenakan kimono handuk, rambutnya basah, masih ada titik air di wajah beningnya, Kesegaran itu segera menular menjalari hati Aman, dia pun tersenyum lebar menatap makhluk cantik yang seolah jatuh tiba-tiba dari langit, bergegas mendekati.
"Sayang, ada berita bagus buatmu," katanya lalu mengangkat tubuh wangi segar yang habis mandi itu, menggendongnya sambil memutar-mutar seperti adegan film India.
"Mas bikin kaget aja, tahu!" jawab Sevda, bukannya senang atau penasaran dengan berita yang hendak disampaikan suaminya.
"Bukannya Sevda sudah menunggu-nunggu berita ini?" tanya Aman lalu membawa istrinya ke teras kecil di depan kamar, duduk dan meletakkan Sevda di pangkuan.
"Berita apa sih, Mas?" tanya Sevda, benar dia melupakan berita yang dinantikannya.
"Hmm ... tapi Sevda habis keramas ya, berarti sudah selesai mensnya?" kata Aman malah beralih pembicaraan.
"Iya sih," jawab Sevda, membuat senyum Aman semakin merekah.
"Berita apa sih yang mau Mas bilang?" tanya Sevda, Aman bukannya menjawab, malah menciumi istrinya sampai Sevda nggak bisa ngomong.
"Mas, Sevda belum ngeringin rambut, ntar masuk angin," kata Sevda, selalu begitu, selalu berusaha mengelak setiap Aman menginginkan kemesraan. Rasanya Aman sudah hafal walau belum genap sebulan mereka menjadi suami istri.
Lagi-lagi Aman harus mengalah, dalam hati dia mengalah untuk memenangkan malam pertama yang tertunda itu.