Kebahagiaan yang membuncah setelah berhasil mempersembahkan hal terindah buat suaminya membuat Sevda merenungkan sesuatu, tentang rasa takut dan rasa sakit. Ternyata rasa takut bisa lebih menakutkan dibandingkan dengan apa yang ditakuti. Merasa ketakutan pada sesuatu yang pasti dihadapi, lalu terus menerus menghindar malah memperpanjang rasa takut itu sendiri. Sevda tanpa sadar telah menyiksa diri untuk waktu yang tak pasti.
Menghadapinya dengan tenang, itu adalah pilihan cerdas. Sedangkan rasa sakit itu pun tidak abadi, pasti ada akhirnya, bahkan tak sesakit yang dibayangkan, rasa takutlah yang memperbesarnya. Sevda merasa bersyukur sudah memenangkan keberanian di atas rasa takutnya.
Bila bukan karena dorongan cinta yang besar untuk menghibur suaminya yang sedang sedih, barangkali Sevda masih terayun-ayun dalam rasa takut dan terus menghindar seperti hari-hari lalu. Cinta kasih telah memberinya kekuatan dan keberanian yang membuatnya mengabaikan segalanya.
Tak seperti biasanya, pagi itu Sevda bangun lebih dulu, mandi, lalu membangunkan suaminya dengan kecupan mesra.
"Bangun dan salat subuh dulu, sleeping handsome," bisiknya ceria, bau napasnya yang segar seperti angin sepoi yang berembus meniup daun-daun, segera membuat mata Aman membuka.
Bila bagi kebanyakan orang, bangun di pagi hari berarti terbitnya harapan, bagi Aman, itu berarti teringat kembali akan permasalahan yang sedang menderanya. Terbangun juga berarti hari yang baru, yang juga berarti semakin sedikit waktu untuk mendapatkan uang yang dibutuhkannya untuk membayar gaji karyawan. Kegelisahan dan kebahagiaan berpadu di dada Aman, dan pagi itu Aman kembali dipermainkan perasaannya sendiri, bersedih di situasi yang juga membuatnya bahagia.
Kembali dia tumpahkan kegelisahannya di atas sajadah saat salat subuh, itulah cara cerdas menghadapi semua ini. Saat manusia sudah mentok, lalu tersadarkan bila tak ada daya dan kekuatan kecuali karena pertolongan Allah. Pertolongan Allah yang dimaknai oleh manusia sebagai keadaan lepas dari penderitaan, padahal pertolongan Allah tak selalu demikian. Perderitaan pun merupakan pertolongan Allah, agar manusia kembali, atau untuk menghindarkan dari derita yang lebih mendalam. Allahlah yang Maha Tahu.
Usai salat subuh, Aman diam dan mengendapkan segala gejolak di pikirannya, muncul ide menjual sepeda motor untuk menutup kekurangan gaji karyawan. Sepeda motornya masih relatif baru, belum genap setahun, bila terjual tentu sangat membantu kondisinya saat ini. Aman merasa mendapat solusi jitu untuk permasalahannya. Bukankah nanti bisa beli lagi kalau ada uang? Sementara untuk wira-wiri dia bisa meminjam mobil Sevda, Sevda pasti tak keberatan.
Aman harus mengatakan permasalahannya kepada Sevda, walau ada rasa malu dan enggan menyusahkan kekasih, bukankah mereka berdua suami istri yang harusnya terbuka satu sama lain? Bukankah salah satu makna hidup berpasangan adalah menempuh suka dan duka bersama-sama? Hanya waktu dan caranya saja harus tepat, agar Sevda tidak kaget atau sedih. Itulah yang ingin dilakukan Aman seusai sarapan.
"Sayang, Mas ingin mengatakan sesuatu kepadamu," kata Aman lirih dan hati-hati sambil melirik ke kanan kiri, khawatir bila Mbak Kat mendengar pembicaraan mereka berdua.
"Kita bicara di belakang saja, Mas," kata Sevda yang sudah punya firasat bila suaminya hendak mengatakan hal penting. Dia sempat melihat Mbak Kat sudah selesai membersihkan halaman dan teras belakang, sekarang wanita itu sedang menyiram bunga di halaman depan. Pembicaraan mereka berdua bakal aman.
"Baiklah, Sayang," kata Aman lalu membantu Sevda membereskan meja makan, memindahkan mangkuk sayur, lauk dan nasi ke lemari makan, Sevda membawa piring kotor ke tempat cuci piring, meletakkan begitu saja, nanti Mbak Kat yang bakal membereskannya.
Di teras belakang yang sejuk dan asri itu Sevda memilih duduk di lantai, terasa nyaman sambil menikmati desir angin yang meniup dedaunan. Aman mengikutinya, duduk di pinggir lantai teras, kaki telanjang mereka berdua menyentuh bebatuan di bawah. Ada rerumputan yang menyembul di sana, masih basah oleh embun ataukah air yang disiramkan Mbak Kat sepagi tadi? Bau segarnya memberi perasaan bahagia, seperti membasuh hati yang sedang gundah. Alam memberikan penghiburan dengan caranya sendiri.
"Sayang, sebenarnya aku tak mau menyusahkanmu, tetapi kupikir Sevda harus tahu," kata Aman sambil menatap Sevda di sampingnya dengan suara bergetar, setelah itu dia beralih menatap ke depan sambil menarik napas dalam-dalam, seolah menarik energi dari kesejukan pagi, itu membantu perasaannya lebih tenang dan santai.
"Ya tentu, Mas, aku 'kan istrimu?" kata Sevda. Aman jadi tersenyum menyadari satu hal, Sevda istrinya sekarang, rasanya mereka masih berpacaran saja. Terdengar asing ketika kata itu diucapkan Sevda, 'aku istrimu'. Aman balas mengucap dalam hati, 'dan aku suamimu'.
"Terima kasih sudah menjadi istriku. Dan terima kasih untuk semalam," kata Aman, tersenyum lalu meraih pundak kekasihnya, mencium harum wangi rambutnya, tangannya turun meraih tangan Sevda, menggenggamnya dengan lembut penuh sayang. Masih tersisa perasaan manis karena pengalaman indah semalam.
"Aku sudah merasa Mas punya masalah, katakan saja."
"Sebelumnya Mas minta maaf karena ada masalah seperti ini di awal pernikahan kita."
"Mas tak perlu minta maaf, bukan mau Mas ada masalah 'kan?"
"Ya, kamu benar, mana ada orang yang ingin ada masalah, masalah besar lagi."
"Katakan saja, Sevda sudah penasaran sejak kemarin Mas seperti mendapat masalah berat."
"Bukan seperti lagi, memang lagi ada masalah berat."
"Iya, Sevda paham."
"Begini, Sayang. Keripik yang Mas kirim ke Surabaya untuk dikirim ke Hongkong, belum dibayar sampai hari ini, padahal dua hari lagi gajian karyawan," kata Aman dengan suara pelan seolah takut ada orang lain yang mendengar. Tanpa menunggu reaksi Sevda, seolah takut kehilangan kata-kata, Aman meneruskan kalimatnya.
"Karena itu Mas kesulitan keuangan, jadi Mas mau jual sepeda motor untuk gajian karyawan Sabtu besok lusa, kurang dua hari lagi. Sementara Mas nanti bisa pinjam mobil Sevda bila butuh kemana-mana." Aman melirik Sevda, tak ada ekspresi kaget di wajah istrinya, datar dan biasa saja, itu di luar dugaan Aman.
"Memangnya menjual sepeda motor bisa secepat itu? Dua hari langsung laku?"
"Ya, Mas gak yakin sih, tetapi Mas harus berusaha, selebihnya Allah yang menentukan."
Sevda memeluk suaminya, "Mas yang sabar ya, Sevda gapapa gak naik sepeda motor juga masih ada mobil, tetapi gimana usaha Mas? Satu pikap keripik itu puluhan juta 'kan Mas?"
"Iya, persisnya tiga puluh lima jutaan, karena itu pesanan premium, yang memang khusus buat dikirim ke Hongkong saja," kata Aman, tenang nada suaranya, karena ada rasa lega sudah berhasil mengungkapkan permasalahannya pada Sevda, sekaligus lega karena Sevda menanggapinya dengan tenang, malah berusaha menghiburnya pula.