Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #7

7. Film ESP

Siapa sih yang bisa tahu persis apa yang bakalan terjadi besok? Bahkan apa yang akan terjadi satu jam, satu menit, bahkan satu detik kemudian pun tak ada manusia yang tahu. Tentu itu berlaku pada Sevda yang sering mengalami prekognisi, sebuah penglihatan akan masa depan. Sevda malah sering salah menafsirkan apa yang dia lihat di kotak batinnya, isyaratnya benar, namun salah dalam mengartikannya. Walau tak selalu begitu, karena kelemahan dan kelebihan manusia tak bisa dipastikan kapan muncul dan kapan tenggelamnya.

Setelah pulang melayat sore itu, Sevda tak mendapat firasat apa pun, tetapi ada dorongan di dalam hatinya untuk mandi keramas. Di hati kecilnya meyakini bila mandi setelah melayat akan membersihkannya dari energi negatif setelah bersentuhan dengan suasana duka cita. Karena itulah, begitu sampai di rumah, Sevda langsung masuk ke kamar mandi.

"Sayang, ngapain pakai mandi keramas sore-sore begini, ntar masuk angin gimana?" tanya Aman begitu melihat Sevda muncul di hadapannya dengan rambut basah.

"Lah itu Mas juga mandi keramas 'kan?" kata Sevda sambil menunjuk rambut Aman yang juga basah, padahal tidak janjian dulu, apa mereka punya keyakinan yang sama atau hanya kebetulan saja?

"Ya, kalau Mas sih gapapa, Mas 'kan sehat, nggak gampang mbeler kayak istri Mas yang itu loh." Telunjuk Aman menunjuk foto Sevda di dinding kamar.

"Pakai air hangat kok, Mas," jawabnya, padahal bibirnya menggigil kedinginan dan hidungnya mulai mengeluarkan ingus, mbeler seperti kata Aman.

"Pakai air hangat waktu mandi, setelah mandi 'kan air yang nempel di rambutmu ini jadi dingin. Itu juga sudah mulai mbeler 'kan?" kata Aman cerewet, mengambil tisu dan membersihkan ingus Sevda seperti seorang ibu memperlakukan balitanya.

"Sini, Mas keringkan rambut Sevda," kata Aman lalu mengambil pengering rambut dari lemari. Sevda pun patuh seperti anak kecil yang takut dimarahi ibunya, duduk di dekat stop kontak di dekat meja, membiarkan suaminya mengacak-acak rambutnya.

Beberapa saat hanya ada suara desing alat pengering rambut di kamar itu, keheningan yang terasa damai di sore yang mulai redup. Gorden putih susu di kamar itu masih membiaskan cahaya matahari yang perlahan-lahan memudar seolah berpamitan pada bumi untuk melakukan tugasnya di belahan dunia yang lain.

"Kok diam? Sevda mikirin apa?"

"Hmm ... mikirin Mbah Sarinten."

"Mbah Sarinten yang baru meninggal itu? Kukira memikirkan Mas."

"Mas di samping Sevda, mengapa dipikirin?"

"Ngapain juga mikirin orang lain yang sudah meninggal? Orangnya sudah tua, memang sudah waktunya meninggal. Memangnya kenapa dengan Mbah Sarinten?"

"Ya tidak kenapa-kenapa, cuma terpikir saja sih. Mbah Sarinten itu orang kaya sejak dulu, petani kaya. Punya sawah luas di pinggiran kota, sebagian memang sudah dijual untuk dijadikan sebuah kampus universitas swasta, tetapi tetap saja beliau masih terbilang kaya, anaknya hanya dua dan berpendidikan tinggi semua," kata Sevda menggambarkan sosok Mbah Sarinten.

"Ya, kelihatan dari rumahnya, memang rumah orang kaya. Besar dan megah, kontras dengan rumah yang lain" kata Aman, tangannya sibuk mengurai rambut Sevda dengan jemarinya.

"Iya, Mas. Memang di kampung belakang itu banyak keluarga sederhana, ya cuma rumah beliau satu-satunya yang besar dan megah," kata Sevda. "Dia tinggal dengan anak bungsunya, sudah menikah tapi belum dikaruniai anak, anak pertamanya di kota ini juga, ikut suaminya."

"Hafal betul Sevda dengan silsilah tetangga."

"Tidak hafal, aku juga baru tahu tadi kok, dengerin ibu-ibu mengobrol. Ternyata Mbah Sarinten itu sudah lama sakit, aku yang nggak tahu, jadi belum sempat menengok beliau."

"Ya wajar dan itu bukan salah Sevda, rumah Sevda menghadap jalan raya, rumah mereka di kampung belakang, dekat tapi jauh. Sevda juga jarang bertemu tetangga, wajar bila nggak tahu berita."

"Iya, Sevda sibuk kuliah, Sevda nggak tahu apa-apa soal tetangga. Dulu Mama yang bersosialisasi, itu pun sebatas ikut pengajian seminggu sekali, tapi Mama sering bolos juga sih. Sekarang Sevda mewakili Mama, jadi ibu-ibu."

"Bu Aman, ya," kata Aman sambil mencium istrinya.

"Haha ... nggak enak didengarnya, Sevda saja."

"Bu Sevda? Itu nggak keren," kata Aman. Rambut Sevda sudah kering, Aman meletakkan pengering rambut ke tempatnya semula.

"Mas yang nggak keren," balas Sevda.

"Mas nggak keren nggak apa-apa, asal ada wanita keren ini di hidup Mas," katanya lalu berlutut di depan Sevda, menggenggam kedua tangan Sevda yang dingin.

"Nah, apa kata Mas? Sevda kedinginan 'kan? Pakai selimut ya," kata Aman lalu mengambil selimut dan membungkus Sevda dengan selimut tebal. Sevda merasa sangat nyaman.

Lihat selengkapnya