Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #8

8. Adil

Usai salat berjamaah, Mbak Kat beranjak pergi meninggalkan Aman dan Sevda berdua di musala. Wanita itu berjalan dengan langkah berat mengikuti beban tubuhnya yang cukup berbobot, masuk ke kamarnya. Usai pintu kamar menutup, terdengar suara radio melantunkan lagu selawat menemaninya menikmati istirahat malam.

Sevda masih mengenakan mukena, menangis lagi. Aman menatap wajah istrinya dengan bingung, pikirannya lagi-lagi membayangkan siksa neraka sampai Sevda sesedih itu. Ingin menghibur tapi bagaimana caranya? Mungkin sudah nasib punya istri indigo, tak bisa mengambil sikap yang tepat. Ada rasa kesal mengapa Sevda menangisi tetangga yang jarang bertemu dan tak punya ikatan apa pun. Bukankah itu konyol dan tidak masuk akal? Namun demikian Aman tak akan berani menyalahkan Sevda, karena dia tak mengerti apa yang dirasakan Sevda, juga tak bisa melihat apa yang dilihat Sevda.

"Lihat film itu lagi?" tanya Aman sambil membasuh air mata yang jatuh di pipi istrinya. Sevda mengangguk. Aman memeluk dan membelainya, terus membelai kepalanya sampai Sevda tenang dan tak terdengar menangis lagi. Sevda melepas mukena, lalu Aman menggandengnya ke ruang keluarga untuk menonton televisi.

Hanya sejenak Sevda menonton televisi, karena pandangan matanya kabur oleh air mata yang mengalir lagi. Adegan di musala itu pun terulang, Aman membelai dan menenangkannya sampai Sevda berhenti menangis.

"Sayang, gimana? Sudah hilang filmnya? Apa perlu konsultasi dengan Pakde Mansyur atau Om Hans?" tanya Aman teringat pada Om Hans, paman kesayangan Sevda yang psikolog dan dosen itu. Sevda malah menyusupkan kepala di ketiak suaminya, membuat Aman tersenyum, manjanya Sevda kadang bisa meredakan rasa kaget dan bingungnya.

"Sevda sudah bisa menebak apa kata Om Hans kalau Sevda cerita ke beliau."

"Memangnya apa kata Om Hans biasanya?"

"Ambil jarak dengan pikiranmu, caranya dengan memandanginya saja, atau menonton saja, biarkan gambar-gambar itu tampil dan berlalu, tanpa menilai dan tanpa menghakimi. Penilaian dan penghakiman itu sama saja dengan menahan gambar itu untuk terus menerus menghantuimu lalu merobek-robekmu dari dalam," kata Sevda mengulang pelajaran dari Om Hans.

"Oh, Mas ingat Sevda dulu pernah mengatakannya, ya walau dalam kasus lain, kasus Mas sendiri yang tidak bisa menghilangkan amarah dan dendam pada orang yang menyebabkan ayahku meninggal. Jadi apa pun kasusnya, sesederhana itu ya untuk meringankan beban pikiran?"

"Ya sesederhana itu."

"Tapi tidak mudah karena pikiran memang secara otomatis suka menilai dan menghakimi."

"Iya, sifat pikiran memang begitu, suka menilai dan melompat ke sana ke mari. Cara menghadapinya ya itu tadi, menonton dan mengambil jarak dengan pikiran. Dengan melewati gejolak pikiran, maka bisa ketemu insight dari dalam, semacam kebijaksanaan, atau petunjuk dari Allah. Simple but not easy."

"Mas yakin Sevda bisa melakukannya, biar nggak nangis-nangis terus. Atau ceritakan saja apa yang Sevda lihat pada Om Hans, barangkali bisa meringankanmu." kata Aman lagi, Sevda memeluk pinggang suaminya, seolah mencari kekuatan.

"Kalau bercerita itu namanya katarsis, ya bisa meringankan juga sih. Tak perlu cerita ke Om Hans, cerita ke Mas juga bisa meringankan kok, asal Mas bisa menjadi pendengar yang baik."

"Biasanya Sevda suka cerita ke Mas tanpa Mas minta."

"Ya, biasanya Sevda suka cerita apa saja ya. tapi kali ini Sevda melihat ...," kata Sevda lalu berhenti. Aman melihat mata Sevda menerawang jauh, itu membuatnya khawatir. Untuk mengalihkan perhatian sang istri dari melihat 'film' itu lagi, Aman memegang wajah Sevda dengan kedua belah tangannya lalu memosisikan wajahnya sendiri tepat di depan wajah Sevda, kedua bola matanya menatap Sevda lekat-lekat lalu tersenyum.

"Sayang, coba tatap wajah Mas saja, ya."

"Ya. Oppa Korea," jawab Sevda sambil tertawa kecil. Mendengar tawa itu, Aman merasa lega.

"Sekarang ceritakan, Sevda melihat apa dan tak perlu terbawa perasaan, ada Mas ganteng di sini, Sevda tak perlu sedih," kata Aman dengan kepedeannya yang menggelikan, sengaja untuk menciptakan suasana riang.

"Mas itu ganteng kalau dilihatnya dari bukit Barisan," kata Sevda sambil melirik kesal, lenyap sudah segala kemuraman yang memeluknya sejak sore tadi. Lagi-lagi Aman berhasil membuat ketegangan Sevda mencair.

"Mas tahu kok, Mas nggak ganteng, cuma tampan," kata Aman melanjutkan kepedeannya. Sevda mencubit pinggang Aman, keduanya tertawa kecil.

"Mas, peluk," pinta Sevda, Aman pun melingkarkan lengannya di bahu Sevda erat. "Mas, aku mau cerita," lanjutnya.

Lihat selengkapnya