Aman membimbing tangan Sevda untuk duduk di kursi di teras belakang itu, perasaannya mengatakan ada sesuatu yang mengejutkan Sevda.
"Sayang, ada apa?" tanyanya sambil berjongkok di depan Sevda, memegangi kedua tangan Sevda yang berkeringat dingin.
"Sayang, katakan ada apa?" tanya Aman lagi ketika melihat Sevda hanya terdiam.
"Mas, aku tahu jawabannya," kata Sevda, mengulang pernyataannya.
"Soal Mbah Sarintenkah?" Aman menebak, Sevda mengangguk.
"Ya, tetapi tak perlu terseret begitu. Bukannya Om Hans mengajari untuk memandang gejolak emosi, perasaan dan pikiran agar bisa ketemu sama insight dari dalam?" kata Aman, mendongakkan wajah sambil mengelus pipi kanan Sevda dengan lembut.
"Mas, peluuk!" kata Sevda sambil membungkukkan badan, lalu menyandarkan kepalanya di bahu suaminya, mengabaikan saran Aman untuk menyelam ke dalam diri sendiri. Dalam situasi seperti ini Sevda hanya butuh dipeluk, bukan dinasehati, apalagi disuruh bermeditasi. Aman merasa bodoh.
"Ya, ya, tenang, rileks, santai saja ya. Sevda dikasih kelebihan sama Allah itu bukan untuk bersedih seperti ini," kata Aman sambil memeluk istrinya.
"Sevda nggak sedih, cuma mikir, apakah dosa Mbah Sarinten masih terampuni?" kata Sevda ngotot, tidak mau rileks atau santai. Sevda membiarkan pikiran mempermainkannya.
"Sayang, soal mengampuni atau tidak mengampuni itu pasrahkan Allah saja, Allah pasti berbuat yang seadil-adilnya, yang penting Mbah Sarinten kita doakan, ya," kata Aman menghibur sang istri.
"Sebentar, Sayang. Mas capek nih duduk kayak gini, Mas duduk di kursi boleh ya?" kata Aman. Sevda melepaskan rengkuhannya, dan membiarkan Aman duduk di kursi sebelah. Duduk berdua dengan dipisahkan meja terasa seperti sedang main tamu-tamuan, Aman merasa tidak nyaman.
"Sayang, duduk sini dong," katanya menunjuk pahanya, tangannya terulur meminta Sevda memberikan tangannya untuk dibimbing menuju ke pangkuannya. Sevda terlihat ragu.
"Tak perlu khawatir. Mas sudah mandi dan pakai deodoran, dijamin gak bau walau keringatan begini," kata Aman menepis keraguan Sevda. Sevda malah memoncongkan bibirnya.
"Ya, ya, memang sedikit bau sih, tetapi 'kan Sevda pernah bilang kalau bau Mas ngangenin dan menggemaskan," kata Aman sambil tertawa nakal.
"Kapan Sevda bilang begitu?"
"Ya, kapan saja boleh," kata Aman lalu tergelak, walau bagaimana Aman merasa berhasil mengalihkan perhatian Sevda dari memikirkan Mbah Sarinten.
"Takut ketahuan Mbak Kat, Mas. Malu," kata Sevda beralasan.
"Ayolah, dia pasti maklum, kita 'kan pengantin baru," bujuk Aman, membuat Sevda tak kuasa menolak.
"Memangnya kalau sudah nggak pengantin baru, Sevda nggak boleh manja begini?" tanya Sevda siap-siap merajuk.
"Sampai tua Sevda juga boleh manja sama Mas," kata Aman sambil mencium leher istrinya.
"Sevda nggak mau tua, Mas saja yang tua," kata Sevda.
"Oh ... ya deh, sampai bayi Sevda boleh manja sama Mas."
"Sampai bayi?"
"Ya, 'kan Sevda nggak mau tua, kalau bertambah muda terus lama-lama jadi bayi 'kan?" kata Aman, membuat Sevda mencubitnya dengan gemas.
Beberapa burung hinggap di pohon di halaman belakang yang asri itu, lincah berpindah dari satu dahan ke dahan yang lain, menjadi latar yang manis bagi kemesraan sepasang suami istri di pagi itu. Ditambah hawa sejuk dan angin semilir yang menggoyang dedaunan, membentuk keindahan yang sempurna. Seperti tak ada alasan bagi dua insan itu untuk galau atau bersedih.
Namun manusia tetaplah makhluk pengeluh, di antara jutaan bahkan milyaran nikmat dari Tuhannya, manusia lebih suka berfokus pada kemalangan-kemalangan yang dia alami. Mengabaikan lautan nikmat demi setitik saja penderitaan. Sungguh bodoh makhluk yang bernama manusia. Barangkali suatu saat harus ada satu saja manusia yang mengubah definisi kata cerdas. Cerdas yang bukan berarti keunggulan di bidang akademik, tetapi cerdas yang berarti bisa menyikapi kehidupan dengan cara terbaik yang menguntungkan buat manusia itu sendiri.
Di pangkuan Aman, Sevda masih mencari kenyamanan dengan menyandarkan kepala ke bahu suaminya.
"Memangnya jawaban seperti apa yang Sevda dapat?" tanya Aman, mengingatkan Sevda akan ceritanya soal Mbah Sarinten.
"Tadi waktu belanja, Sevda ketemu sama ibu-ibu tetangga 'kan Mas? Mereka ngomongin Mbah Sarinten, tetapi Sevda pura-pura cuek, sambil nguping," kata Sevda.
"Apa? Sambil ngupil? Tak sopan itu, Sayang," kata Aman menggodanya.
"Nguping, Mas, ngu - ping, ping, bukan pil," kata Sevda menjelaskan, bibirnya jadi lucu ketika mengucap kata pil dan ping.