Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #10

10. Hutan Gelap

Berusaha tanpa usaha, bertindak tanpa tindakan, memikirkan tanpa berpikir, menemukan kekuatan diam yang menghasilkan sesuatu. Aman di ambang memahami konsep itu ketika solusi tak terduga datang di ujung kepasrahan. Pasrah bukan berarti menyerah, tetapi kepasrahan merupakan sebuah tindakan batin yang membuat semua peristiwa mengalir, mengalirkan pertolongan dari Yang Maha Tak Terhingga.

Selama ini manusia mengira bila usaha dan tindakan itu hanyalah perbuatan fisik atau pemikiran-pemikiran tertentu. Melupakan kekuatan besar yang terpendam di kedalaman jiwa, keyakinan, kepasrahan, rasa syukur, merasa cukup, merasakan keberlimpahan kasih sayang Tuhan.

Manusia melakukan tindakan batin di setiap detik tanpa menyadari itu pun sebuah tindakan yang memengaruhi segalanya. Terkadang tindakan batinnya yang cenderung memaksakan keinginan, itu malah memblokir kemudahan dan solusi yang sedang mengetuk pintu kehidupannya. Ketika kehidupan berjalan tak sesuai harapan, manusia menyalahkan sesuatu di luar dirinya, lupa bila itu hasil perbuatan batinnya sendiri. Seperti komputer yang diprogram, maka yang tampil di layar adalah program yang diunduh di perangkat lunaknya.

Kekhawatiran tidak mengubah apa pun, itu tindakan batin yang kontraproduktif. Aman bersyukur telah melewati fase itu. Dengan adanya solusi dari Sevda, mereka berdua tak perlu menunggu lama untuk berangkat berbulan madu. Aman meminjam uang tabungan Sevda untuk menutup gaji karyawan, sehingga uang dari piutang yang terbayar bisa untuk membeli bahan baku, maka usaha Aman bisa berjalan lagi.

Hanya butuh waktu seminggu, Aman memprediksi usahanya akan baik-baik saja meskipun bakal ditinggal ke Bali. Aman tak mau membuat Sevda kecewa dengan menunda-nunda terus rencana bulan madu mereka. Aman tahu, Sevda sangat menginginkannya.

Ketika sore itu Aman memberitahu Sevda bila dua hari lagi mereka bisa berangkat, Sevda menyambut gembira berita itu dengan memeluk dan minta digendong suaminya.

"Makasih ya, Mas. Mas ganteng deh," katanya lalu mencium pipi kanan dan kiri Aman. Aman merasa melayang, jarang-jarang Sevda menciumnya seperti ini. Sudah dicium, dibilang ganteng lagi, pertanda bila istrinya merasa amat bahagia.

"Benarkah kalau Mas ganteng?" tanya Aman menggoda. "Dilihat dari kemiringan berapa derajat nih gantengnya Mas?" kata Aman lagi lalu mengangkat tubuh Sevda dan memutarnya seperti adegan di film-film.

"Kemiringan seribu derajat celsius," kata Sevda.

"Apa? Memangnya matahari seribu derajat celsius?" Aman memprotes Sevda yang membelokkan derajat kemiringan dengan suhu, tetapi Sevda menjawabnya dengan tawa yang nakal, membuat suaminya tak berhenti gemas dengan tingkahnya.

Dalam hitungan menit setelah adegan itu, Sevda terlihat sibuk memilih-milih bajunya sendiri dan baju suaminya yang hendak dia bawa berbulan madu.

"Masih dua hari lagi, Sayang," kata Aman menegur istrinya yang sudah seperti pedagang baju bekas, bersimpuh di lantai dengan baju yang baru diturunkan dari lemari.

"Ya, 'kan enak kalau sudah siap. Mas aku bawain kaus sama celana jins dan celana selutut saja ya, bawa hem dua saja," kata Sevda.

"Jangan lupa baju koko dan sarung buat salat."

"Kan Mas bisa pinjam mukena Sevda?" kata Sevda sambil terkikik.

"Awas ya, ntar Mas pakai mukena buat nakutin Sevda tidur loh," kata Aman, tangannya menggelitik ketiak istrinya dari belakang, yang digelitik kabur melarikan diri, Aman mengejarnya. Gedebag gedebug berpadu dengan tawa adalah bebunyian yang mencerahkan suasana kamar dan rumah itu. Yang sedang sibuk di dapur ikut tersenyum mendengarnya.

Tetapi ternyata Sevda benar-benar ketakutan di malam harinya, bukan karena ditakuti Aman yang memakai mukena, melainkan ....

Ceritanya, menjelang isya ada pengumuman dari masjid ada seseorang meninggal dunia. Suara pengumumannya kurang jelas, sehingga Sevda menanyakannya pada Mbak Kat.

"Mbak Kat dengar yang tadi?"

"Iya, Mbak Sevda. Dengar tapi kurang jelas, Bu Dar ... Dar siapa gitu loh."

"Oh, Bu Darmani, itu rumahnya masuk gang sebelah barat."

"Padahal baru saja tujuh harinya Mbah Sarinten."

"Ya, memang sudah waktunya dipanggil, kita semua 'kan pada ngantri juga."

"Kalau kata orang tua-tua, bila ada orang meninggal, lalu belum empat puluh harinya sudah ada yang meninggal lagi, itu nanti bakalan beruntun tak berhenti sampai tujuh orang di kampung itu menyusul," kata Mbak Kat, bulu kuduknya merinding, Sevda ikut merinding, Aman yang yang tak sengaja mendengar percakapan itu merinding juga.

"Itu sih tahayul, Mbak Kat," kata Aman yang muncul sambil mengancingkan baju koko, bersiap hendak salat maghrib.

"Ya, semoga saja cuma tahayul," jawab Mbak Kat sambil mengatupkan kedua tangan ke depan mulutnya, seperti orang berdoa.

"Nanti habis salat maghrib temani Sevda melayat, ya, Mbak Kat," ajak Sevda.

"Jangan, Sayang. besok pagi saja," kata Aman melarang. Aman sudah paranoid duluan bila berhubungan dengan orang meninggal, takut Sevda mengalami hal menakutkan lagi.

"Kalau begitu Mas saja yang ke sana," kata Sevda.

"Mas nggak tahu rumahnya."

"Masuk lewat gang sebelah barat, lurus saja, sekitar seratus meter, nanti kalau ada orang ramai-ramai ya di situ itu. Atau Mas barengan sama Pak Rifai saja?"

Sudah tradisi di daerah Sevda, bila seseorang meninggal di malam hari, maka bapak-bapak tetangga akan melekan di rumah yang meninggal, karena tidak memungkinkan melakukan pemakaman di malam hari. Sedangkan kaum wanita hanya melayat sebentar, kecuali sanak saudara dan tetangga dekat.

Maka malam itu Aman meninggalkan Sevda ikut melekan ke rumah almarhumah Bu Darmani. Kebetulan sekali Pak Rifai, suami Bu Nur yang punya toko kecil di sebelah rumah, mengajaknya bareng.

"Sayang, Mas tinggal dulu ya? Sevda gapapa?" pamit Aman pada istrinya.

Lihat selengkapnya