Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #11

11. Cahaya yang Tak Sampai

Karena rasa mengantuk yang sangat, Sevda langsung tertidur begitu membaringkan tubuh ke kasur, tanpa mencereweti Aman untuk cuci muka, cuci tangan dan kaki atau sikat gigi dulu. Sevda pun tak melakukannya, mereka berdua langsung terbenam ke alam mimpi. Sevda memeluk guling menghadap tembok, Aman telentang menghadap langit-langit kamar.

Pagi, ketika Sevda terbangun, Aman tak ada di sisinya. Dari posisi tidur, dia langsung berdiri berjalan keluar kamar, bermaksud ke kamar mandi, tetapi 'film' Bu Darmani yang sedang berada di tengah hutan gelap kembali tampak. Suara teriakannya kembali terdengar memekakkan telinga, Sevda merasa amat pusing. Belum genap kesadarannya kembali setelah semalam tertidur, sudah disambut penampakan yang mengenaskan. Sevda merasa tak kuat, dia terduduk di depan kamar, kepalanya terkulai.

Untung di saat bersamaan Aman pulang dari salat subuh di musala dekat rumahnya bersama Emak yang masih mengenakan mukena. Aman segera menolong, mengangkat tubuh Sevda kembali ke tempat tidur, dalam hatinya menyesal mengapa meninggalkan Sevda sendiri. Emak langsung ke dapur membuatkan menantunya teh panas sambil mulutnya komat-kamit membaca doa yang ditujukan untuk Sevda.

"Sayang. Maafkan Mas ya," kata Aman berulang-ulang. Sevda memandang suaminya dengan mata yang belum membuka penuh. Emak datang tergopoh-gopoh dengan secangkir teh manis hangat, Aman membantu Sevda duduk lalu meminumkannya, sementara Emak memijit kaki Sevda.

"Sevda melihat film itu lagi?" tanya Aman. Sevda mengangguk.

"Orangnya meminta pertolongan kita, Mas. Mungkin bila sudah kita tolong, filmnya bisa ngilang," kata Sevda. "Tapi Sevda tak tahu gimana cara nolongnya."

"Telepon pakdemu saja," kata Emak menawarkan solusi.

"Ya, benar kata Emak. Kita telepon Pakde Mansyur saja ya? Barangkali beliau bisa memberi petunjuk," kata Aman. Sevda pun mengangguk.

Di telepon, Aman menceritakan semua yang dilihat Sevda. Pakde Mansyur menganjurkan mereka berdua berbicara dengan anak dari Bu Darmani, karena doa seorang anak pasti akan sampai ke orang tuanya.

"Benar dugaan Sevda, beliau membutuhkan doa khusus dari anaknya," kata Aman teringat Sevda juga mengatakan hal yang sama kemarin.

"Ya, tapi Sevda tak berani melakukan itu, Mas. Anaknya Bu Darmani itu petentang-petenteng, arogan dan kasar gitu orangnya, usianya juga lebih tua dari Sevda. Dia pasti memandang remeh Sevda," kata Sevda ragu.

"Hmm ... Mas pasti temani Sevda, biar Mas yang ngomong dan menghadapinya," kata Aman meyakinkan.

"Sevda tetap nggak berani. Rasanya itu percuma dan nggak ngefek," kata Sevda masih meragukan rencana itu.

"Jangan berprasangka. Kita coba dulu saja, dari pada Sevda terbayang-bayang terus hutan gelap dan jeritan almarhumah terus," kata Aman menepis keraguan Sevda.

Sevda tidak menjawab, mulutnya terkunci tak mengeluarkan sepatah kata pun, tangannya malah memeluk tubuh Aman erat seolah ingin mencari kekuatan dengan berpegangan pada sesuatu. Aman tak lagi membujuk istrinya, hanya membelai bahu istrinya dan pasrah pada keputusan Sevda.

Tiba-tiba terlintas ide cemerlang di pikiran Aman.

"Sayang, biar aku sendirian saja yang ke sana ya, aku akan menyampaikan apa adanya yang dilihat Sevda," kata Aman. Sevda menatap wajah suaminya.

"Mas sendirian? Jangan!" kata Sevda tanpa menjelaskan alasannya melarang Aman menemui anak almarhumah.

"Atau ... begini saja, aku akan minta ditemani Pak Rifai ke sana, aku sudah bercerita soal Sevda kepada beliau semalam. Maafkan Mas ya, cerita-cerita soal kelebihan Sevda, karena perasaan Mas, Pak Rifai bisa dipercaya," kata Aman.

"Gak apa-apa. Mas betul kok, Pak Rifai itu tokoh masyarakat, beliau bekerja di KUA dan sering jadi khatib di masjid. Beliau bisa dipercaya," kata Sevda, membuat Aman merasa lega.

"Oh, syukurlah, nanti kita pulang setelah ketemu karyawan, sorenya Mas ke rumah Pak Rifai ya," kata Aman.

"Oke, Sevda juga musti packing, besok 'kan kita berangkat?" kata Sevda teringat bila dia belum selesai menyiapkan baju dan segala tetek bengek perlengkapan lainnya sehubungan dengan rencana kepergian mereka berdua ke Bali.

Hari itu sekali lagi Aman mengecek urusan usaha kripiknya sebelum ditinggal ke Bali besok. Sorenya keduanya datang ke rumah Pak Rifai, menceritakan semua yang dilihat Sevda. Ada fakta mencengangkan yang menjawab segala pertanyaan keduanya, mengapa cahaya itu tak bisa sampai pada Bu Darmani.

"Ya, Mas Aman. Nanti kita berdua datang lebih awal saja di acara tahlilannya, biar bisa menyampaikan semua yang dilihat Nak Sevda," kata Pak Rifai. "Saya percaya yang dilihat Nak Sevda benar, karena memang semasa hidup almarhumah asing dengan asma Allah dan begitulah yang beliau temui di kehidupan selanjutnya," lanjut Pak Rifai.

"Asing dengan asma Allah? Maksudnya?" tanya Aman.

"Beliau tidak pernah salat, Mas." Malah Sevda yang menjawab pertanyaan suaminya.

Pak Rifai tersenyum lalu mengiyakan apa yang dikatakan Sevda.

"Ya, sepanjang hidupnya beliau jauh dari agama, Mas Aman. Hanya menyibukkan diri dengan keduniawian, padahal beliau juga ... ya maaf, seperti Mas Aman lihat kondisi rumah beliau, beliau bukan orang kaya," kata Pak Rifai, setelah itu beliau terdiam, ketiga orang itu seperti serempak merenungkan sesuatu.

Pak Rifai lalu meneruskan ucapannya, "Ya ini hanya sebagai pelajaran saja ya Mas, bukan bermaksud menghina. Bisa dikatakan bila beliau itu orang miskin yang sibuk mengejar dunia. Sudahlah dunia tidak tergapai, akhirat pun tidak. Barangkali ini bisa menjadi pelajaran juga buat anaknya, karena anaknya sebelas dua belas dengan ibunya," kata Pak Rifai.

Pulang dari rumah Pak Rifai, keduanya lebih banyak diam, merenungkan pembicaraan mereka bertiga. Asing dengan asma Allah hanya berujung pada kegelapan yang mengerikan. Berbicara dengan Pak Rifai membuat Sevda merasa ada seorang lagi yang memahami dan membantunya. Ketika malamnya Aman berangkat ke rumah almarhumah bersama Pak Rifai, Sevda merasa beban di kepalanya menghilang, Aman pun lebih lega lagi melihat wajah Sevda lebih sumringah.

"Dear, kalau ada apa-apa telepon Mas saja ya," kata Aman ketika pamit kepada istrinya. Sevda mengangguk riang, lalu kembali sibuk menulis daftar perlengkapan yang hendak dibawa besok, setelah itu sibuk menata segala sesuatu di dua koper besar.

Tengah asyik dan fokus menata barang, telepon genggamnya berkelunting, ada notifikasi pesan masuk dari Amara, sahabatnya.

Amara: Sevda, kenapa Kak Raka kok tidak pernah update Youtube dan IG-nya ya? Aku curiga, jangan-jangan orangnya patah hati.

Sevda membalas pesan Amara dengan kesal: Ampun deh Ra, kamu kok mikirin cowoknya orang sih. Jangan kepo-an gitu ah, nggak baik untuk jiwa raga. Ini aku lagi persiapan mau ke Bali sama Aman, jangan ikut ya.

Amara: Wah, maaf-maaf, aku gangguin orang mau bulan madu nih ya ... sengaja kok ... haha.

Sevda menghentikan aktifitasnya, pesan dari Amara menjadi pemicu, menghidupkan memorinya akan Raka, cinta pertamanya. Sevda tak bisa menahan diri untuk tidak kepo, dicarinya telepon genggamnya, lalu mengecek akun media sosial Raka. 

Benar kata Amara, tidak ada postingan baru, bahkan postingan terakhir Raka sudah beberapa minggu yang lalu. Sevda terseret dalam galau dan tanda tanya, ada apa dengan Raka? Batinnya terus bertanya-tanya.

Sevda sudah menghapus nomor kontak Raka dari telepon genggamnya, demi kedamaian rumah tangga dan kedamaian hatinya sendiri. Namun tangan Sevda rasanya gatal ingin berkirim pesan lewat akun media sosial Raka, tetapi ditahannya sekuat tenaga.

Lihat selengkapnya