Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #12

12. Rangda

Pagi itu di sebuah rumah besar dengan halaman depan dan belakang yang luas dan asri, rumah yang hanya dihuni oleh sepasang pengantin baru dan seorang pembantu rumah tangga. Kicau burung telah terdengar dan bias cahaya mulai merekah di langit timur,

"Sayang, kita jadi berangkat pagi-pagi?" tanya Aman pada Sevda yang masih mengenakan mukena usai salat subuh berjamaah berdua.

"Hmm ... Pamit Emak dulu 'kan? Sevda juga mau pamit Mama dulu," jawab Sevda sambil menyalami dan mencium tangan suaminya,

"Pamit Mama? Ke Surabaya?" tanya Aman balas mencium kening istrinya,

"Hehe ,,, nggak lah, lewat video saja," jawab Sevda lalu menggigit punggung tangan Aman, sadar kalau suaminya sedang menggodanya. Mereka berdua sudah merencanakan rute perjalanan dengan seksama dan tak mungkin berputar ke Surabaya dulu.

"Auw! Ampun, Sayang. Mas cuma senang dengar suara Sevda saja, dan lihat cemberutnya itu loh," kata Aman sambil tertawa.

"Bukankah tiap hari dengar suara Sevda dan lihat Sevda cemberut?"

"Ya maunya Mas mendengar suara Sevda setiap saat, soalnya itu bikin Mas jadi jatuh cinta terus," kata Aman ingin mengakhiri percakapan tidak penting itu sambil mengulurkan tangan, mengisyaratkan Sevda untuk duduk di pangkuannya.  

"Ntar keterusan deh kalau Sevda duduk dipangku Mas," kata Sevda ragu, wajahnya menyiratkan takut 'diperkosa' suaminya, malah membuat Aman tertawa geli.

Pagi seusai sarapan, setelah puas berbicara lewat panggilan video dengan Mama dan Bapak di Surabaya, sepasang pengantin baru itu pun berangkat. Mampir ke rumah Aman dulu untuk berpamitan pada Emak dan karyawan mereka.

Dengan membawa perasaan bahagia, mereka pun meluncur meninggalkan Malang, kota tempat tinggal mereka berdua. Sevda memandu perjalanan dengan mengandalkan google map, karena Aman belum terbiasa bepergian jarak jauh dengan menyetir sendiri.

Aman hanya menuruti saja kemauan istrinya, ketika Sevda minta berhenti di pantai pasir putih Situbondo untuk sekedar bermain pasir dengan kaki-kakinya, berjalan di tepi pantai merasakan hembusan angin dan ombak yang bergulung. Diturutinya saja apa yang Sevda mau, Aman pun ikut larut dalam kegembiraan istrinya.

"Bapak dulu pernah berdinas di sini waktu aku masih SD. Aku suka sekali bermain ke pantai, kadang bertiga dengan Bapak dan Mama, kadang cuma berdua saja kalau Bapak tidak bisa menemani," celoteh Sevda menceritakan kenangan masa kecilnya.

"Mengapa tidak mengajakku?" protes Aman, membuat Sevda tertawa terkikik sambil mendorong Aman ke arah laut. Ya bagaimana bisa terjadi bila Aman mengenal Sevda saat keduanya sudah di bangku SMA.

"Mas sih mendekam di Malang terus sejak kecil," kata Sevda.

"Aku di Malang saja karena menunggumu, Sayang, " kata Aman mulai keluar jurus rayuannya, dibalas Sevda dengan memoncongkan bibirnya.

Puas bermain di tepian pantai, mereka berdua meneruskan perjalanan. Seperti rencana yang telah mereka susun, mereka bakalan menginap di Banyuwangi, Sevda ingin naik kapal penyeberangan pagi-pagi agar bisa melihat matahari terbit di atas kapal.

Hari sudah gelap ketika mereka sampai di Banyuwangi, belum memesan hotel. Dengan mengandalkan internet, sambil menikmati makan malam di sebuah rumah makan, Sevda memilih hotel yang tak jauh dari pelabuhan.

Lelah setelah seharian menyetir, Sevda mengira suaminya setelah mandi bakalan langsung tertidur, yang berarti dia bisa beristirahat pula, istirahat dari digemesin suaminya. Eh ternyata dugaan Sevda salah, melihat Sevda segar sehabis mandi, Aman tak tahan menciuminya dengan penuh nafsu, sampai Sevda kewalahan.

"Maaas, Sevda ngantuk dan capek," kata Sevda.

"Hanya ciuman selamat malam saja kok, masak nggak boleh?" kata Aman mencari alasan, padahal di dalam batinnya sangat berharap Sevda menyambutnya dengan penuh nafsu pula. Apalah daya Aman, memaksa Sevda berhubungan intim pun tak akan tega dia lakukan, dia cuma bisa bilang di dalam hatinya, "Waduh! Bakalan menahan diri semalaman nih."

Benar saja perkiraan Aman, malam itu di sebuah hotel yang tenang di Banyuwangi, Aman harus menahan hasratnya semalaman, hanya bisa memandangi istrinya yang terlelap kelelahan. Lewat tengah malam Aman baru bisa tertidur.

Sudahlah kurang tidur, pagi-pagi subuh Sevda sudah membangunkan Aman.

"Mas, aku ingin menyeberang sambil lihat matahari terbit," katanya.

"Iya, iya, Dear, Mas minta waktu sebentar saja ya, semalam gak bisa tidur," kata Aman, untungnya Sevda tidak memaksa.

Untungnya pula Sevda tidak cemberut ketika mereka berdua menyeberang, matahari sudah tinggi, tak bisa menyaksikan matahari terbit yang sinar jingganya mengagumkan.  Meski demikian, Sevda terlihat begitu bahagia menikmati momen berada di dalam kapal dan merasakan hembusan angin laut yang membuat rambutnya menari-nari.

"Sayang, ini pakai swetermu, masuk angin nanti," kata Aman sambil mengulurkan sweter warna dusty pink yang ditinggalkan Sevda di mobil. Sevda menerima sweter yang diulurkan suaminya, tetapi tidak memakainya, hanya mengalungkan ke lehernya dan membuat simpul di dadanya menggunakan lengan sweter itu. 

Aman memandangi Sevda sambil tersenyum, gerakan tangan Sevda saat memainkan sweter itu membuatnya terpaku, gemulai seperti tangan penari. Memang Sevda suka menari dulu, baru berhenti menari saat kuliah.

"Sayang, kita duduk di dalam saja yuk, di sini terlalu kencang anginnya," kata Aman sambil menggandeng tangan Sevda mengajaknya masuk ke dalam ruang duduk di kapal feri penyeberangan itu. Sevda menurut, tetapi begitu pelabuhan Gilimanuk sudah terlihat, giliran Sevda yang menggandeng tangan suaminya keluar. Beberapa perahu yang berlabuh di dermaga, juga perahu yang mengantri merapat menarik perhatian Sevda karena sudah lama tidak menyaksikan pemandangan seperti ini.

Ketika mereka sedang berdiri bersandar di pagar kapal dengan lengan Aman memeluk bahu Sevda, dua orang lelaki tersenyum pada mereka berdua.

"Pengantin baru ya?" kata lelaki yang berkaus biru tua. Sevda merasa tidak nyaman dengan ucapan lelaki itu, sementara dalam hatinya bertanya-tanya, apa yang membuat mereka begitu kentara terlihat sebagai pengantin baru? Apa pelukan Aman di bahunya inikah?

"Hmm ... bagaimana Mas bisa tahu?" tanya Aman heran.

"Ya, begitulah ...," jawab lelaki itu sambil tersenyum seolah menyembunyikan rahasia, mungkin sulit mengatakan jawabannya, tetapi lelaki satunya lagi mengatakan hal yang membuat Aman merenung.

"Semasih pengantin baru memang mesra, selalu berpegangan tangan, selalu penuh perhatian. Kepleset sedikit saja sudah disayang-sayang, kalau sudah lama menikah sih jadi biasa, cenderung cuek," kata lelaki berkaus merah.

Lihat selengkapnya