Aman memiringkan badannya dari posisi telentang, sehingga dia bisa melihat wajah Sevda yang serius dan tegang.
"Sayang, jangan bilang begitu, hanya Allah yang bisa meminta nyawa kita," kata Aman.
"Bila Mas tidak percaya apa yang aku katakan, siapa lagi orang yang mempercayaiku?" kata Sevda ketus, Aman merasa serba salah, ngomong salah, diam pun bisa dituduh tak peduli, Aman harus benar-benar berhati-hati dengan kata-katanya.
"Sayang, bukan begitu maksud Mas. Oke dia menginginkan nyawa Sevda, tetapi apakah semudah itu? Bila Allah tidak mengijinkan, itu tidak akan terjadi. Percayalah, hidup dan mati kita ditentukan oleh Allah, bukan oleh siapa pun, sesakti apa pun dia," kata Aman serius.
Sevda tidak membalas perkataan suaminya, barangkali merenungkan kata-kata Aman. Tak berapa lama dia malah memiringkan tubuhnya menghadap Aman, lalu menjatuhkan kepalanya di dada suaminya. Aman membelai rambutnya lembut.
"Sevda pasti capek. Sevda istirahat saja ya, tak perlu khawatir didatangi lagi, sudah Mas doakan, tak ada yang bisa mengganggu Sevda malam ini karena Allah bersama kita," kata Aman tenang dan yakin.
"Iya, Mas benar, Allah selalu bersama kita, bila Allah tidak mengijinkan, tak akan terjadi," kata Sevda membenarkan ucapan Aman..
"Kita semua tahu itu, tetapi sering lupa."
"Terima kasih sudah mengingatkan," kata Sevda sambil menengadah dan mencium suaminya, tetapi begitu Aman membalas ciuman Sevda, wanita itu malah bilang, "Mas, Sevda ngantuk."
"Iya, tidurlah," kata Aman. Tak lama mata cantik itu pun mengatup dan terlelap begitu damai, seolah tak pernah terjadi hal yang mengejutkan sebelumnya. Keduanya tertidur dengan posisi tangan saling berpegangan, rasa lelah menyatukan mereka pada malam yang lelap.
Paginya terjadi kehebohan di kamar hotel paling pojok itu. Sevda bangun terlebih dahulu dan langsung menuju kamar mandi. Aman yang masih tertidur dikagetkan oleh jeritan Sevda, lelaki itu langsung bangun dan duduk, menemukan Sevda sudah tidak ada di atas tempat tidur. Mengabaikan rasa pening di kepalanya, dia langsung berdiri dan mencari ke arah suara jeritan istrinya.
"Sevda!" panggilnya panik. Sevda keluar dari kamar mandi dengan wajah pias, langsung menghambur dalam pelukan suaminya.
"Sayang, ada apa? Coba sebut asma Allah ya," kata Aman berusaha bersuara tenang padahal pikirannya kacau, dia belai rambut istrinya setelah itu dia tuntun duduk di sofa. Sevda meringkuk di dada Aman dan melingkarkan lengannya erat di pinggang suaminya, seolah bilang," Temani dan jangan tinggalkan aku."
"Ada apa di kamar mandi? Ada penampakan lagikah?" tanya Aman.
"Mas doain dulu biar pergi."
"Sudah Mas doain dari tadi, memangnya belum pergi?"
"Sudah sih, doain biar dia tidak datang lagi."
"Juga sudah."
"Tapi kayaknya rumahnya dia di sini."
"Maksud Sevda dia tidak bisa pergi? Dia masih di kamar mandi?"
"Sudah tidak lagi, tetapi rumahnya di sini, di hotel ini maksudku," jawab Sevda.
"Oh, kalau begitu kita saja yang pergi," kata Aman, dalam pelukannya Sevda mengangguk. Semalam Aman sempat berpikir untuk pindah tempat menginap saja, setelah kejadian pagi ini, bertambah bulat keputusannya untuk segera chek out dari hotel yang memberi mereka berdua pengalaman yang mengerikan, meskipun mereka sudah membayar untuk dua malam.
"Sevda lihat apa? Perlu menelepon Pakde Mansyur?" tanya Aman penasaran.
"Kemungkinan itu leak deh, Mas."
"Seperti apa?"
"Yang Sevda lihat kepala seorang lelaki melayang di atas kepala Sevda, dengan lidah terjulur dan darah yang mengalir dari mulutnya. Kaget Sevda. Maaf sudah bikin Mas bangun," kata Sevda. Aman termenung membayangkan kepala melayang yang diceritakan Sevda.
"Tidak seperti leak yang di tarian itu, Mas, kalau itu sih sudah diperindah bentuknya. Aslinya mengerikan," kata Sevda seperti tahu bila suaminya sedang membayangkan sesuatu.
"Hmm ... kita chek out sehabis sarapan ya. Sekarang salat subuh dulu yuk," ajak Aman.
"Sevda belum cerita seluruhnya," kata Sevda dengan wajah merajuk, membuat Aman tersenyum lalu mengecup kening istrinya.
"Ceritakanlah, Mas akan menyimak baik-baik," kata Aman.
"Tapi Mas benar, salat subuh saja dulu, sebentar lagi terang," kata Sevda meralat ucapannya, lalu berdiri dan berjalan ke kamar mandi untuk berwudu. Sevda tak berani menutup pintu kamar mandi, lebih nyaman buatnya berwudu dalam pengawasan suaminya.
Bahkan saat mandi di pagi itu, Sevda minta ditemani suaminya di dalam kamar mandi, tetapi dia minta suaminya membalikkan badan.
"Sayang, aku 'kan suamimu," protes Aman.
"Ya, tapi Sevda malu. Ayo berbalik sana!" perintah Sevda, "Awas, nggak boleh ngintip!" lanjutnya. Aman jadi geli, tetapi tetap menuruti Sevda, dia pun membalikkan badan.
"Lah kalau Mas nggak boleh melihat keindahan istrinya sendiri, Mas lihat siapa dong?" kata Aman.
"Lihat pintu," kata Sevda sambil terkikik lalu mulai menanggalkan pakaiannya. Aman senang mendengar suara tawa Sevda setelah ketegangan yang terasakan sejak mereka bangun tidur tadi.
"Maksud Mas, untuk memuaskan mata Mas ini loh, berarti Mas boleh lihat wanita lain dong kalau nggak boleh lihat istri sendiri," goda Aman.
"Ya boleh lihat wanita lain, tapi yang nenek-nenek ya," sahut Sevda sambil menyabuni tubuhnya lalu menyalakan shower.
"Oh, baiklah. Mas mau cari nenek-nenek cantik kayak Yuni Shara. Di internet banyak kok nenek-nenek seksi," sahut Aman. Sevda mendelik lalu mengarahkan shower yang sedang menyemburkan air hangat itu ke punggung suaminya.
Aman tertawa, merasa sukses menggoda Sevda. Dia berbalik lalu membuka pakaiannya dan mandi bareng istrinya. Sevda tak bisa berkutik lagi, daripada suaminya mencari nenek-nenek seksi untuk memuaskan matanya.
Pagi itu pun dilanjutkan dengan persiapan untuk chek out, Sevda mengumpulkan baju kotor mereka berdua dalam sebuah tas kresek besar. Aman mengurusi koper Sevda yang susah ditutup karena terlalu penuh isinya.
"Mas, mukena dan sajadah jangan dimasukkan koper," kata Sevda menegur Aman.