Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #14

14. Nyawa

Aman memandang ke arah mana mata Sevda tertuju, lalu beralih ke arah yang dituju Sevda, hanya untuk memastikan lelaki itulah yang menjadi perhatian Sevda. Lelaki tua yang kurus dan berjalan setengah membungkuk, memakai baju putih tetapi warna putihnya ke arah krem karena lusuhnya, dari kejauhan Aman bisa menangkap raut wajah yang terlihat sadis. Di kedalaman batinnya Aman mencium sesuatu.

"Gek, maaf sebelumnya, siapa sih Bapak itu?" tanya Aman sambil memandang ke arah lelaki itu. Entah dari mana datangnya, ide itu muncul begitu saja untuk menanyakan perihal lelaki yang mencurigakan itu kepada si mbak resepsionis.

"Oh, beliau pemilik hotel ini," jawab si mbak lalu menyebutkan nama lelaki itu. "Memangnya kenapa, Bli?" tanya si mbak sambil tersenyum lembut khas wanita Bali. Aman merasa tersanjung dipanggil 'Bli' sama si mbak, untuk menghargainya, Aman ingin menyebut nama si mbak, Aman pun membaca nama yang tertera di dada kiri si mbak, 'Ni Made Anjani'.

"Oh, sederhana sekali ya orangnya, Gek Made," kata Aman diplomatis. Gek Made mengangguk dengan anggun, lalu tangannya membetulkan letak bunga kamboja yang terselip di sanggulnya. Dengan kebaya yang dikenakannya, Gek Made betul-betul memancarkan kecantikan khas wanita Bali. Aman jadi teringat akan Sevda yang pernah menari Bali di pentas seni saat SMA dulu, cantik, gemulai dan memesona.

"Iya, beliau sering disangka tukang kebun loh, gara-gara suka merawat tanaman dan memberi makan ikan-ikan," jawab Ni Made sambil tertawa kecil, Aman ikut tertawa, dalam hatinya bersyukur Ni Made tidak tahu bila Sevda memperhatikan lelaki tua itu sedari tadi.

Ni Made mengembalikan KTP Aman. Pada saat itulah Aman menyadari bila Sevda sudah tak berada di sisinya, seketika Aman mengedarkan pandangnya menyapu seluruh ruangan, dia melihat Sevda sudah berjalan ke arah pintu masuk yang membuka lebar dan tinggi beraksitektur Bali. Aman merasakan firasat buruk bermunculan di pikirannya.

"Makasih, Gek Made," kata Aman sambil memasukkan KTP itu ke saku bajunya, buru-buru dia berjalan cepat mengejar Sevda.

"Sevda! Tunggu Mas dulu," panggil Aman, tetapi Sevda seolah tidak mendengar, wanita itu terus berjalan ke luar lobi, menuju halaman, bahkan berjalan terus sampai ke pinggir jalan raya. Aman terpaksa berlari mengejarnya, sementara Sevda berjalan terus menyeberang jalan.

Masih dua langkah menginjakkan kaki di atas aspal, sebuah bis antar propinsi melintas di depannya. Beruntung posisi Aman sudah berada tepat di belakang Sevda, dengan sigap Aman menarik tangan Sevda sambil berteriak memanggil nama istrinya, "Sevda!" Orang-orang yang menyaksikan kejadian itu menjerit, ada yang menyalahkan sopir bis, ada yang menyalahkan Sevda.

Jantung Aman berdegup kencang sambil mendekap wanita yang dicintainya itu di dadanya, hampir saja ... hampir saja terjadi hal mengerikan bila Aman terlambat sedetik saja menarik tangan Sevda. Beberapa orang mendekat, ingin melihat keadaan Sevda. Seorang ibu bersanggul dan berkebaya menghentikan sepeda motornya, mengulurkan sebotol air mineral pada Aman. Sungguh kepedulian yang menyejukkan hati, khas Indonesia.

"Sayang, Sevda mau ke mana? Mengapa nggak tunggu Mas dulu?" kata Aman lirih tepat di samping telinga Sevda. Sevda tidak menjawab, wajahnya terlihat kosong. Orang-orang yang berkerumun di sekeliling mereka berdua membubarkan diri begitu melihat Sevda tak terluka sedikit pun.

Dituntunnya Sevda berjalan ke mobil, di dalam mobil Aman memberinya air mineral dari ibu berkebaya tadi. Mulut Aman komat-kamit membaca surat andalannya, Al Fatihah. Hanya itu yang bisa Aman usahakan di saat gawat seperti ini. Aman begitu yakin, ketulusan hati dan kesungguhannya memohon kepada Allahlah yang membuat doa-doanya berjawab.

Sevda sering bertanya kepada Aman, apa sih doa yang dibaca sampai membuatnya merasa hangat dan nyaman? Aman selalu menjawab, Al Fatihah, itu saja. Ternyata doa apa pun yang dibaca, asalkan dipanjatkan dengan penuh keyakinan akan pertolongan Allah, bisa membuahkan hasil yang bahkan lebih indah dari yang diharapkan. Pagi ini pun jurus doa Aman berlaku, perlahan-lahan Sevda mulai pulih kesadarannya.

Aman memandang istrinya dengan perasaan lega dan penuh syukur. Sejenak Aman teringat ucapan Sevda yang mengatakan bila 'mereka' menghendaki nyawa dengan berbagai cara, dan salah satu caranya adalah dengan memicu kecelakaan. Belum sejam berlalu sejak Sevda mengatakan hal itu, sudah hampir terjadi kecelakaan. Aman merasa di tempat ini mereka berdua dikejar oleh maut.

Aman juga teringat ucapannya sendiri, tak semudah itu mengambil nyawa orang bila Allah tidak mengijinkan. Kejadian pagi ini adalah buktinya. Ya, tak semudah itu, walau jarak antara seseorang dengan maut tinggal satu centimeter, bila Allah tidak menghendaki, itu tak akan terjadi. Sesakti apa pun, tak akan terjadi.

"Sevda tak apa-apa, Sayang?" ucap Aman dengan perasaan campur aduk.

"Maafkan aku ya, Mas, membuatmu khawatir begini."

"Tak perlu minta maaf, Mas yang lalai dalam menjagamu."

"Sevda tadi mengikuti dia," kata Sevda tanpa mengatakan siapa yang dimaksud dengan 'dia'.

"Mas tahu, Sevda mengikuti lelaki tua berbaju putih lusuh itu 'kan?" tebak Aman.

"Ya."

"Kenapa mengikutinya?"

"Sevda sendiri nggak tahu, tapi dialah lelaki yang Sevda lihat di kamar mandi."

"Jadi dia leak?" kata Aman sambil mendelik, jadi benar firasatnya tadi. Sevda menutup mulut suaminya dengan jari telunjuknya. Di saat yang bersamaan, Aman melihat lelaki yang sedang mereka bicarakan berada tak jauh dari mereka. Lelaki itu sedang memberi makan ikan koi di kolam hias yang berada di depan restoran hotel.

Pikiran Aman bergejolak, bukankah sedari tadi lelaki itu berada di halaman hotel? Merawat tanaman dan memberi makan ikan. Aman tak melihat lelaki itu menyeberang jalan, Aman tak melihat Sevda mengikuti seseorang di depannya. Aman hanya melihat Sevda berjalan sendiri, Amanlah yang mengikuti Sevda, Sevda tidak mengikuti siapa pun. Aman merinding.

"Ayo kita segera pergi dari sini, Mas," ajak Sevda. Aman segera menstarter mobil, pandangannya lurus ke depan, tak berani menoleh pada lelaki tua itu.

Hening tanpa ada percakapan di antara keduanya saat mobil mereka meluncur meninggalkan hotel itu. Barangkali sedang berbicara dengan dirinya masing-masing, ataukah keduanya berbicara dalam bahasa diam? Bahkan Aman belum tahu ke arah mana tujuan mereka, baginya yang penting keluar dulu dari hotel yang telah memberi pengalaman paling mengerikan sepanjang sejarah kehidupan keduanya.

"Mas, Sevda ingin pulang." Meluncur kalimat itu dari bibir Sevda, "Kangen Emak, Mama dan Bapak," lanjutnya, suaranya terdengar sendu, batin Aman teriris. Mereka berdua datang ke sini untuk berbulan madu, menciptakan kenangan indah di lembaran baru kehidupan mereka sebagai suami istri. Namun apa yang mereka temui, sungguh tak terbayangkan bila peristiwa seperti ini mereka alami. Aman pun punya pemikiran yang sama dengan Sevda, segera pulang adalah hal terbaik untuk mereka berdua.

Lihat selengkapnya