Hari sudah gelap ketika mereka berdua sampai di kota Negara, Aman merasa lelah dan mengantuk sekali. Sevda pun tak tega memaksa suaminya meneruskan perjalanan, walaupun tak sampai satu jam lagi mungkin mereka sudah tiba di pelabuhan Gilimanuk.
"Kita menginap di sini saja gimana?" kata Aman, lebih mirip sebuah permintaan untuk diijinkan beristirahat. Sebenarnya Sevda ingin menginap di Banyuwangi saja, tetapi berubah pikiran saat menatap wajah Aman yang terlihat letih.
"Boleh, kelihatannya ini kota yang nyaman dan damai," kata Sevda, menarik napas sambil merasakan aura kota Negara, sebuah kota kecil di barat pulau dewata, yang seolah menyambut mereka berdua dengan ramah.
Mereka menginap di hotel yang secara kebetulan saja mereka temui dalam perjalanan. Rasa lelah membuat Sevda tidak menjadi orang yang pemilih, begitu melihat hotel ini Sevda merasa harus menginap di sini. Ada sesuatu dari dalam yang menggerakkan Sevda sampai spontan bilang pada suaminya, "Mas, minggir, minggir, itu hotel yang enak kayaknya." Aman pun menuruti permintaan Sevda.
Hotel ini berarsitektur modern yang terletak di tepi jalan raya Denpasar-Gilimanuk, namun berada di pinggiran kota Negara. Tempat parkir di bagian depan tidak terlalu luas, itu pun sudah penuh dengan mobil, tetapi ada jalan di samping hotel yang mengarah pada tempat parkir di area belakang. Hotel ini juga cukup asri dengan beraneka tanaman hias yang tertata dengan indah.
Sevda langsung memesan kamar standar dan seorang karyawan hotel mengantarkan mereka ke kamar di area tengah. Kamar itu terletak di depan sebuah taman dengan lampu remang-remang. Namun rupanya, hotel ini bangunan lama yang dipoles dengan bangunan baru di bagian depannya saja. Begitu memasuki kamar, baru kelihatan bila ini adalah bangunan tua. Sevda dan Aman tak memedulikan itu karena mereka hanya butuh beristirahat semalam saja, yang penting ada kasur empuk dan bersih untuk tidur.
Setelah membersihkan diri dan salat, Aman segera mengajak istrinya tidur, melupakan pertanyaan yang menggantung di pikirannya tentang leak dan rangda, apakah masih mengikuti Sevda. Aman segera tidur dengan cepat, sementara Sevda masih merem-melek dalam pelukan suaminya. Sevda berusaha tidur, tatapi tak bisa karena tadi sempat tertidur cukup lama di mobil selama perjalanan.
Sevda tersenyum menatap wajah suaminya yang tidur dengan mulut sedikit membuka, teringat kejadian saat dia terbangun dari tidurnya di perjalanan tadi. Sevda protes kenapa mobil melaju pelan padahal jalan tidak terlalu ramai, lalu Aman menjawab bahwa dia sengaja memperpelan kecepatan mobil agar Sevda bisa tidur dengan nyenyak. Setelah Sevda terbangun, baru Aman mempercepat laju mobilnya. Mengetahui hal itu membuat Sevda merasa berharga dan amat disayangi, juga merasa sangat beruntung bersuamikan lelaki penyayang.
Perlahan-lahan Sevda memindahkan tangan Aman dari bahunya, lalu dia bangun dan turun dari tempat tidur. Dia ambil telepon genggamnya di atas meja lalu menelepon orang tuanya di Surabaya, setelah itu menelepon Mbak Kat, pembantunya, Nesa, adik iparnya, Amara, sahabatnya dan Emak, ibu mertuanya. Mengabarkan bila besok pagi mau pulang ke Malang.
Puas menelepon, Sevda menyalakan televisi untuk membuatnya mengantuk, tapi tak ada acara televisi yang menarik, dia matikan televisi lalu berjalan mengitari kamar. Mengintip situasi di luar kamar dengan cara menyibakkan gorden, menikmati pemandangan taman di depan kamarnya. Di tengah taman ternyata ada kolam teratai berhiaskan patung anak kecil yang memancarkan air mancur dari titit-nya, Sevda pun tersenyum sendiri.
Bosan mengintip pemandangan taman, Sevda beralih ke sisi dinding belakang kamar, ada jendela besar di sana, cahaya lampu menciptakan siluet tanaman yang tercetak di gorden berwarna krem. Sevda ingin tahu ada pemandangan apa di balik gorden. Dia pun mengintip, ternyata ada sebuah pohon di balik jendela, berlatar belakang dinding pembatas antara hotel dengan bangunan di sebelahnya. Sevda merasa tak perlu mengintip lagi karena pemandangan itu hanya bisa diakses dari kamarnya, disibaknya gorden itu sehingga membuka penuh.
Kini Sevda duduk di kursi menghadap jendela yang terbuka tirainya sambil memegang telepon genggam, bermaksud membuka sosial media atau mencari bacaan di internet. Baru saja menyalakan telepon genggamnya, perasaan Sevda yang peka merasa ada sesuatu yang tidak biasa di situ, maka diletakkannya telepon yang baru menyala itu di pangkuan. Sevda memejamkan mata, menghubungkan batinnya dengan Tuhan, berdoa mohon perlindungan dari segala kejahatan makhlukNya.
Ketika Sevda membuka mata, pandangannya langsung tertuju pada pohon di balik jendela, betapa kagetnya dia. Dengan mata hatinya Sevda melihat banyak kepala berwajah mengerikan bergelantungan di dahan pohon itu.
"Tenang, tenang, Sevda. Mereka tidak mengganggumu 'kan?" batin Sevda menenangkan dirinya sendiri. Sevda berusaha mengambil jarak dengan rasa takutnya, pun tidak tergesa mengambil kesimpulan dari apa yang dilihatnya. Sebab kali ini berbeda, tak seperti barong dan leak yang sangat terasa mengintimidasi. Ini hanya tampilannya saja yang buruk, tetapi sama sekali tak menyerang atau mengancam. Hanya perlu membiasakan diri melihat sesuatu yang tidak pernah dilihatnya sebelum ini.
Kepala-kepala bergelantungan dengan beragam ekspresi, seperti pohon yang berbuah kepala. Kengerian di hati Sevda berubah menjadi rasa ingin tahu, apa yang terjadi di balik pemandangan itu? Sevda mulai berani menatap pohon itu lagi, memperhatikan daunnya yang kecil-kecil dengan dahan dan ranting yang kuat berwarna coklat tua kehitaman. Pohon itu tidak terlalu besar, tetapi tampak tegar dengan beban yang dipikulnya. Ada perasaan kasihan mengaliri hati Sevda, rasa kasihan pada pohon itu karena telah menjadi rumah bagi hal yang mengerikan.
Tersentak hati Sevda ketika menyadari pohon itu berbicara padanya. Ternyata pohon itu mendengar perasaan Sevda. Ini bukan pertama kalinya Sevda menangkap pembicaraan makhluk selain manusia, tetapi cukup lama Sevda tidak melakukannya pada tumbuhan. Menyenangkan rasa hati Sevda ketika mengerti apa yang diucapkan pohon itu kepadanya, itu adalah pelajaran yang bakalan dia ingat seumur hidupnya.
Pohon itu bilang bila dia ikhlas menjalani takdirnya, bagaimana jua dia sudah berguna bagi makhluk lain. Tersirat dari kata-katanya betapa pohon itu amat menghargai makhluk yang berdiam dalam dirinya, tak ada nada merendahkan atau menghina. Malah terasa sekali betapa pohon itu amat menyayangi makhluk Allah yang sudah diakrabinya itu. Sungguh ketulusan yang tak terduga.
Sevda merasa amat malu ketika menengok ke dalam hatinya yang sempat memberi cap 'mengerikan' pada kepala-kepala itu. Sevda merasa menjadi orang yang sok tahu. Bukankah sesuatu yang terlihat buruk belum tentu isinya buruk? Hanya Allah yang tahu hakekatnya, pun kenyataannya makhluk-makhluk itu tak mengganggu apalagi menyerang Sevda, mereka hanya berdiam diri di dahan pohon itu. Mereka hanya diam, tetapi manusialah yang sibuk menilai dan menghakimi dengan pikiran-pikiran liarnya.
Sevda menutup gorden jendela sambil meminta maaf sekaligus berterima kasih atas pelajaran yang diberikan pohon itu kepadanya, lalu membaringkan badannya yang letih di samping suaminya yang kini tidur mendengkur. Sevda belum juga bisa terlelap, bukan karena terganggu dengan dengkuran Aman, tetapi karena terlalu bahagia. Terlihat bibirnya menyunggingkan senyum karena pemahaman yang baru saja didapatnya.
Sevda teringat pelajaran Om Hans yang selalu diulang-ulang, sering bilang betapa pentingnya melampaui pikiran dan perasaan yang sibuk agar bisa melihat jernih, sesering itu pula Sevda merasa bingung apa yang dimaksud dengan melihat jernih? Kadang Om Hans bilang itu penglihatan non judgemental, tetapi masih saja Sevda berada di tahap bisa memahami tetapi tak bisa melakukannya.
Om Hans memberinya tips untuk bisa melihat jernih dengan cara mengambil jarak dengan pikiran, perasaan dan emosi. Sedangkan cara untuk mengambil jarak adalah dengan menonton gejolak di pikiran, perasaan dan emosi itu. Hanya menjadi penonton, terdengarnya sederhana tetapi tidak mudah buat Sevda. Namun ketika Sevda berhasil melakukannya, kebahagiaan itu sungguh tak terkira.
Ketika Sevda bisa melampaui pikiran, perasaan dan emosinya, tidak ada lagi rasa takut atau ngeri. Yang tersisa adalah rasa kasih sayang pada segenap makhlukNya, seperti pohon itu, yang ikhlas dan menyayangi makhluk yang menempel padanya walaupun bentuknya menyeramkan. Kini Sevda memahami, baik atau buruk, menceriakan atau menyeramkan, terang atau gelap, itu semua tarian yin-yang, keduanya punya peran masing-masing dalam kehidupan ini.
Sevda diam menatap wajah suaminya, dikatupkannya mulut Aman yang membuka. Rasanya Sevda tak sabar ingin menceritakan tentang pohon itu pada Aman, rasanya Sevda tak sabar menunggu pagi tiba.
Paginya Aman terbangun lebih dulu. Usai salat subuh dia rasa hembusan hawa mistis yang kental di kamar ini. Membuatnya teringat akan pertanyaan yang belum sempat terucapkan, apakah leak kemarin mengikuti mereka? Itukah sebabnya yang membuat Sevda buru-buru ingin pulang agar mereka menyeberangi lautan hingga tak terkejar? Ataukah bangunan tua ini yang membuar aura kamar ini terasa seram? Aman merinding, menyesali permintaannya untuk menginap semalam lagi di pulau dewata ini.
Aman menoleh menatap istrinya, masih tidur dengan napas yang teratur dan lembut, tak tega membangunkannya. Aman memilih berbaring pelan-pelan di samping Sevda daripada bengong sendirian, menyalakan televisi mungkin malah membuat Sevda terganggu.
Rasanya sepi bila makhluk cantik ini tidur, batin Aman sambil membelai lembut rambut istrinya sembari menatapnya lekat-lekat. Separuh wajah Sevda terbenam di bantal, membuat sebagian lubang hidungnya tertutup. Khawatir napas Sevda terganggu, dia tekan bantalnya agar hidung Sevda bisa leluasa menghirup udara, tetapi tindakannya malah membuat Sevda terbangun.
Istri kesayangan itu menggeliat sambil mengeluarkan suara, "Aaaoooh!" bersamaan dengan bau naga yang membuat manusia di sebelahnya mengernyitkan hidung. Setelah itu dia menoleh melihat Aman, lalu memeluknya dan bilang, "Senangnya punya suami." Senyumnya nakal, rupanya sengaja menggoda Aman, karena setelah itu dia menguap tepat di depan wajah Aman.
Tak mau kalah, Aman pun membalas pelukan Sevda lalu bilang, "Mas juga senang punya istri." sambil menempelkan ketiaknya ke hidung Sevda. Sevda gelagapan pura-pura sulit bernapas, ketika Aman melepasnya, Sevda berteriak, "Hore!" sambil mengacungkan kedua tinjunya ke atas. Mereka pun tertawa berderai.
Aman berharap adegan ini akan berlanjut menuju keintiman yang lebih, tetapi Sevda malah turun dari tempat tidur, gebyar-gebyur di kamar mandi, salat subuh, lalu merapikan barang bawaan mereka.