Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #16

16. Ancaman

"Maafkan Mas, Sevda tidak bisa lihat matahari terbit di laut lagi," kata Aman sambil menggenggam jemari tangan Sevda yang dingin.

"Bukan salah Mas, itu juga bukan hal yang penting, yang penting kita berdua selamat sampai di sini. Sevda merasa lepas sekarang," kata Sevda sambil mencari posisi ternyamannya, menyandarkan badannya ke pagar besi. Aman mendekat sampai tubuh mereka berdempetan.

Dari dek kapal mereka berdua berdiri menatap kilau laut di bawah kubah langit biru dan matahari yang mulai meninggi, berbaur dengan orang-orang yang menikmati pemandangan pagi itu. Sementara sebagian penumpang memilih berada di dalam, berlindung dari embusan angin yang bertiup semilir.

"Kita masuk yuk! Sevda nanti masuk angin," kata Aman yang sudah hafal bila istrinya tukang masuk angin.

"Nanti kekurangan vitamin D, enak di sini sambil berjemur," kilah Sevda sambil tersenyum plus mengedipkan sebelah matanya, sebuah penolakan yang menggemaskan. Seandainya tidak di tempat umum, pasti Aman sudah menciumnya.

"Ya, kalau Sevda masuk angin Mas nggak tanggung jawab ya, nggak perlu merengek-rengek minta dikerokin atau diolesin minyak telon," kata Aman, lalu bibirnya bergerak membentuk lengkungan ke bawah, menirukan gaya rengekan Sevda.

"Katanya ucapan adalah doa, berarti Mas doakan Sevda masuk angin kalau begitu," kata Sevda sambil cemberut, tangannya bergerak hendak mencubit.

"Mas 'kan cuma menjagamu," kata Aman sambil menangkap tangan Sevda yang hinggap di lengannya, sebuah cubitan gagal mendarat.

"Bukannya Allah yang menjaga kita," kilah Sevda, tangannya tak bisa berkutik lagi karena Aman menggenggamnya erat.

"Ya tapi manusianya 'kan harus berusaha."

"Memangnya Sevda nggak berusaha?" kata Sevda dengan mimik serius.

Pasti kalah kok berdebat sama makhluk satu ini, batin Aman ngedumel, tapi cuma bisa bilang, "Iya, iya, Sevda pasti menang deh." Sevda menanggapinya dengan tertawa lalu memiringkan kepalanya sampai menyentuh bahu Aman, rambutnya tergerai tertiup angin sampai menggelitik wajah Aman, kepala Sevda diam di situ sambil meneruskan tawanya.

"Sayang, kamu cantik kalau kena sinar matahari begini, jadi glowing," kata Aman, mengambil telepon genggam dari saku bajunya lalu mengarahkannya pada wajah Sevda, "Mas fotoin, ya." Sevda segera berpose dan Aman menjepretnya beberapa kali.

"Mas, sekarang kita wefie dong," katanya lalu berfoto berdua berlatar belakang kapal feri, laut dan langit yang biru. Setelah itu Sevda sibuk dengan telepon genggamnya.

"Sevda posting di IG?" tanya Aman.

"Nggak, cuma Sevda kirim ke Mama saja. Sevda malas balas komentar kalau diposting di medsos," jawab Sevda, sementara jemari tangannya dengan lincah menari di atas tuts telepon genggam. Setelah selesai, dia tersenyum sambil memasukkan telepon genggamnya ke dalam tas lalu kembali menggelayut manja di lengan Aman.

"Tadi Sevda mau cerita soal leak dan rangda?" kata Aman menagih janji.

"Oh ya, ya."

"Mereka masih mengikuti kita?"

"Ya, leaknya saja sih waktu kita belanja oleh-oleh, palingan rangdanya jaga rumah ...," kata Sevda disusul tawa kecil.

"Lalu? Kenapa Sevda nggak kasih tahu Mas?"

"Ya karena sudah bisa diatasi sama aku sendiri." Perkataan Sevda membuat Aman menoleh dan menatap istrinya lekat-lekat.

"Jangan remehkan wanita, Mas," kata Sevda sambil tersenyum.

"Mas tidak meremehkanmu. Mas cuma khawatir. Mas punya kewajiban menjagamu," kata Aman. "Bagaimana Sevda mengatasinya?"

"Sevda ancam tak bacain ayat kursi kalau terus mengikuti, eh dianya pergi, padahal Sevda belum baca apa-apa," kata Sevda. Aman tertegun sambil mengingat-ingat, kapan Sevda melakukannya, dia merasa Sevda bersikap biasa saja sepanjang acara belanja oleh-oleh. Dalam pikiran Aman, mengancam itu mestinya memakai mimik serius dengan badan berdiri tegap dan tangan berkacak pinggang.

"Wow! Kapan Sevda melakukannya? Mengancam leak? Gimana tuh caranya?" kata Aman dengan intonasi suara yang semakin meninggi.

Sevda menutup mulut suaminya dengan jari telunjuknya lalu berbisik, "Mas, jangan keras-keras, banyak orang di sini."

"Ya, ya. Gimana cara Sevda ngancam leak sampai bikin dia pergi?" tanya Aman berbisik sampai hampir tak terdengar.

"Duh, gimana ya? Susah njelasinnya. Ya ngancamnya di dalam hati ditujukan ke hati dia, ya dari hati ke hati gitu, tapi Sevda ucapkan dengan tegas dan yakin," kata Sevda sambil menunjuk dadanya lalu kedua tangannya bergerak ke depan demi lebih menegaskan kata-katanya.

"Oh, Mas paham, dari hati ke hati, seperti telepati gitu?" kata Aman, kembali nada suaranya meninggi, membuat Sevda mengingatkannya lagi untuk tidak berbicara terlalu keras.

"Telepati itu dari pikiran ke pikiran, dari hati ke hati itu beda," kata Sevda.

"Ya ya. Mas tahu, pikiran di sini, hati di sini," kata Aman sambil menunjuk kepalanya lalu dadanya, kali ini nada suaranya di pertengahan, tidak terlalu keras, tetapi Sevda masih bisa mendengarnya.

Lihat selengkapnya