Bulan Madu yang Tertunda

Innuri Sulamono
Chapter #17

17. Akhir Bahagia dan Akhir yang Pedih

Sevda sudah merasa luluh hatinya, bisa berpikir dengan jernih bila tak ada manusia yang sempurna, demikian pula Aman, begitu juga dirinya sendiri. Mengharap pasangan yang sempurna hanya menuai rasa kecewa dan memperbanyak bahan pertengkaran saja, tak ada gunanya sama sekali. Menerima kekurangan pasangan seperti menerima kelebihannya, itulah yang terbaik dalam membangun sebuah hubungan yang sehat dan bahagia. Bukankah mereka akan hidup bersama dalam waktu yang panjang.

Penyesuaian diri antara dua orang yang berbeda dalam segala-galanya memang tidak mudah, tetapi bukan berarti tidak bisa. Diperlukan kerendahan hati, menerima, memaafkan, memaklumi, kesediaan untuk memperbaiki diri, dan itu menjadi pembelajaran hidup yang berlangsung selama hidup bersama. Barangkali itulah salah satu makna cinta sejati, rela menekan ego demi sang kekasih hati.

Walau Sevda sudah 'jinak', Aman masih juga minta maaf, sebuah tindakan rendah hati yang membuatnya menang tanpa mengalahkan.

"Maafkan Mas, ya. Mas lupa bila segala sesuatu yang hadir ke hadapan kita ini pada hakekatnya Allahlah yang menggerakkan. Kita hanya perlu menangkap pelajaran yang dibawanya," kata Aman. Batin Sevda merasa sejuk mendengar perkataan Aman, berbarengan dengan hilangnya seluruh rasa jengkel di hatinya.

"Sevda tadi katanya mau cerita soal arwah orang meninggal," tagih Aman.

"Ya, memang, tapi Sevda mau tanya dulu boleh 'kan?"

"Haha ... kayak pre test gitu? Oke." Aman tertawa lalu menunggu pertanyaan yang akan dilontarkan oleh 'Bu Dosen' Sevda.

"Apa yang Mas bayangkan tentang kehidupan setelah kita mati?" Pertanyaan sederhana yang tidak bisa langsung dijawab oleh Aman. Setelah terdiam beberapa saat, baru dia mengungkapkan isi hatinya.

"Hmm ... sebelumnya Mas nggak memikirkannya, mungkin karena Mas masih duniawi, terpikir mati saja tidak ... haha. Sombong banget, ya. Merasa diri abadi. Baru sekarang terpikirkan, setelah Sevda tanya," kata Aman jujur.

"Apa yang Mas pikirkan sekarang?" Sevda memandang suaminya yang tiba-tiba berwajah serius.

"Hmm ... kalau kata ustaz yang sering Mas dengar sih, bila selama hidup di dunia berbuat baik, surga balasannya, kalau sebaliknya ya neraka."

"Itu 'kan kata ustaz, maksudku apa yang Mas pikirkan?" Sevda mendesak, Aman hanya menggelengkan kepalanya.

"Entahlah. Mas jadi ingat almarhum Bapak. Sevda apa bisa lihat bagaimana keadaan Bapak di alam sana?" tanya Aman melenceng dari arah pembicaraan. Kini Sevda yang merasa bersalah karena telah membuat Aman teringat akan almarhum ayahnya. Sevda bingung apa yang harus dikatakannya untuk menghapus wajah murung Aman.

"Mas, Sevda itu bukan orang sakti mandraguna. Sevda nggak bisa lihat dengan kemauanku sendiri. Bila bukan Allah yang membukanya, Sevda tak tahu apa-apa," jawab Sevda akhirnya. "Yang penting Mas selalu mendoakan almarhum Bapak setiap selesai salat lima waktu, kukira itulah kewajiban Mas sekarang."

"Iya," jawab Aman singkat, pandangan matanya menerawang.

"Mas,"panggil Sevda lembut. Aman menoleh.

"Keadaan arwah setelah meninggal yang pernah Sevda lihat itu tak melulu soal siksaan. Sevda juga pernah melihat orang yang berakhir dengan bahagia," kata Sevda.

"Oh ya?" Aman antusias, seperti ada secercah harapan muncul di pikirannya. Bagaimanapun juga, tiga kali menemani Sevda ditemui arwah orang yang baru meninggal, membentuk kesuraman di pikiran Aman.

"Beliau sahabat Bapak. Cara beliau meninggal itu enak banget, nggak pakai sakit, waktu tiduran di depan televisi, begitu dibangunkan keluarganya, ternyata sudah meninggal," kata Sevda.

"Oh, tidur yang keblabasan dong."

"Hmm ... iya, keluarganya sampai shock, anaknya sampai pingsan. Tapi setelah pemakaman, Sevda melihat beliau di langit, seperti di atas awan, mengenakan baju batik seolah mau pergi ke kondangan, dia disalami banyak orang dengan wajah yang berseri-seri. Itu untuk pertama kalinya Sevda melihat kebahagiaan orang yang meninggal." Sevda terdiam beberapa saat seolah berusaha mengingat sesuatu. Aman sedikit memutar badannya sampai berhadapan langsung dengan Sevda dan menunggu kelanjutan ceritanya.

"Beliau berkulit sawo matang, gelap, kedua alisnya tebal dan saling bertaut, matanya hitam dan dekat dengan alis, tidak ganteng bahkan terkesan tidak ramah, untungnya beliau murah senyum. Herannya, pas Sevda lihat saat itu, beliau berubah menjadi ganteng sekali, wajahnya pun bersinar, walaupun dengan fitur wajah yang sama. MasyaAllah, tak habis pikir Sevda, bagaimana Allah melakukannya?" Wajah Sevda ikut berbinar ketika bercerita.

"Fitur wajah yang sama dengan kesan yang bertolak belakang, Sevda tak habis pikir. Sungguh!" kata Sevda mengulang lagi kata-katanya, seperti melakukan penekanan pada sesuatu yang menjadi titik perhatiannya.

"Tidak perlu heran, bukankah Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu?" kata Aman. "Yang paling penting sih pelajarannya. Kira-kira apa yang membuat beliau mendapatkan karunia itu?"

"Kebaikannya barangkali. Kalau sudah mengenalnya, beliau itu punya aura positif yang menyenangkan, orang yang tak punya rasa dengki atau sakit hati. Beliau pernah menjadi pembina pramuka waktu Sevda masih SD, beliau selalu riang dan banyak bercanda," jawab Sevda.

"Mengagumkan. Semoga kita nanti berakhir bahagia seperti beliau. Aamiin. Semoga Bapak di alam sana mendapat hal terindah seperti beliau juga."

"Aamiin."

Tenang suasana di ruang penumpang, orang-orang terpaku di tempat duduknya, ada yang mengobrol, ada yang bersandar dan memejamkan mata, ada yang asyik dengan telepon genggamnya. Anak-anak pun tidak ada yang berlarian ke sana ke mari, mereka duduk dengan tenang menonton video dari telepon genggam orang tuanya.

Suasana tenang itu pecah oleh kedatangan tiga orang wanita yang datang dari arah pintu samping. Salah satu dari mereka menunjuk tempat duduk kosong di sebelah Sevda. Tak berapa lama tiga orang itu pun sudah meletakkan pantat mereka tepat di sebelah Sevda.

Seorang yang berkerudung ungu memulai percakapan di antara mereka bertiga. Karena posisinya yang dekat, Sevda bisa mendengar percakapan itu dengan jelas.

"Sudahlah jangan dipikirkan lelaki seperti itu," kata si kerudung ungu kepada wanita muda yang berambut lurus sebahu.

"Dasar lelaki anjing, terkutuk ...," kata wanita berbaju hijau yang rambutnya diikat ekor kuda, dilanjutkan dengan sumpah serapah yang panjang.

Ketiga wanita itu terus berbincang dengan beraneka topik pembicaraan, tetapi yang berbaju hijau selalu menimpali dengan kata-kata kotor, terkadang dengan caci maki yang membuat telinga yang mendengarnya risih. Herannya wanita yang berkerudung ungu dan si mbak yang berambut lurus itu seperti sudah terbiasa, keduanya tidak terpengaruh sama sekali, bahkan ketularan mengucapkan kata-kata kotor juga.

Sevda merasa amat terganggu, tangannya sampai mencengkeram lengan Aman dengan kuat. Aman yang tak tahu isi hati Sevda bertanya dengan lugunya, "Ada apa, Sayang?"

"Mas mau tahu nggak pengalaman Sevda melihat arwah orang meninggal yang semasa hidupnya suka berkata kotor dan mencaci maki?" kata Sevda dengan keras, cukup untuk didengar ketiga wanita yang duduk di sebelahnya. Ketiganya memandang Sevda hampir berbarengan, lalu saling berpandangan.

"Mau banget. Cerita saja, Mas akan mendengarkan," kata Aman masih tidak mengerti juga apa yang terjadi pada Sevda dan ketiga wanita itu. Rupanya Aman tadi sibuk dengan telepon genggamnya, membalas pesan karyawannya di Malang, jadi tak tahu apa yang terjadi.

Ketiga wanita itu merasa bila Sevda sedang menyindir mereka, mereka pun serentak berdiri dan berjalan ke tempat lain. Mungkin mencari tempat yang aman untuk bergunjing atau berkata kotor tanpa ada yang mencereweti.

Lihat selengkapnya