Bunyi peluit kapal memecah pagi yang sudah mulai terasa hawa panasnya. Beberapa penumpang yang berada di dalam ruangan berdiri, ada yang menarik tangannya ke atas meregangkan tubuh, ada yang langsung berjalan ke luar. Bunyi yang menandakan bila kapal feri siap bersandar di dermaga, menggerakkan orang, bahkan seperti semi otomatis, untuk langsung berjalan menuju tangga dan menuruninya. Namun tidak demikian dengan Aman dan Sevda, keduanya masih tenang berada di tempat duduknya.
"Kita belakangan saja, ya. Tak usah berdesak-desakan, mobil kita posisinya juga agak di belakang 'kan?" kata Aman.
"Iya," jawab Sevda yang paham bila suaminya memang cenderung tenang dan mengalah, kecuali dalam urusan mendapatkan cinta Sevda, itu persoalan lain, dalam urusan itu Aman pantang menyerah. Sevda tak bisa menahan gerakan bibirnya yang melebar menertawakan isi pikirannya sendiri. Ketika Aman bertanya mengapa tersenyum sendiri, Sevda dengan jujur menceritakan isi hatinya.
"Mas itu bukan gigih, tapi penuh strategi," kata Aman sambil tertawa. "Akhirnya Mas 'kan yang berhasil mempersuntingmu?" Lagi-lagi sebuah cubitan terasa lembut di paha Aman, pantasnya Sevda itu disebut Ratu Cubit, karena sedikit-sedikit mencubit.
"Mas nggak nyesel punya istri indigo kayak Sevda?" tanya Sevda memancing pendapat Aman.
"Nyesel? Nggak lah, biar punya empat istri kayak Sevda, Mas hanya bisa bersyukur," jawab Aman kalem, tetapi dengan pancaran mata yang nakal.
"Apa?? Empat istri?" Mata Sevda melotot, menandakan Aman berhasil mengaduk-aduk perasaan sang wanita. Sebentar lagi pasti ada cubitan mendarat di tubuh Aman, entah di bagian mana, tak sadar Aman menantikannya.
"Haha ... bentar, bentar, jangan marah dulu ya. Dengar dulu kata Mas," kata Aman buru-buru, seperti hendak menganulir sesuatu.
"Mas mau bilang kalau lelaki boleh punya istri empat 'kan? Asal adil 'kan?" kata Sevda sewot, terlintas di ingatannya saat Aman ketahuan menyimak ceramah seorang ustaz yang mendukung pologami di Youtube, lalu Aman buru-buru berpindah kanal karena Sevda memergokinya.
"Nggak, nggak gitu, Sayang. Dengerin dulu kata Mas." Sevda diam, ekor matanya menatap Aman dengan raut wajah kesal dan tak sabar menunggu bagaimana usaha Aman membela diri.
"Dengar ya, Sayangku, jangan dipotong dulu penjelasan Mas. Memang rencananya Mas mau empat istri, istri pertama Mas namanya Sevda, istri kedua namanya Rani, lalu istri ketiga Maharani, istri keempat namanya Sevda Maharani," kata Aman memutar-mutar nama lengkap Sevda. Nah 'kan? Sevda mencubitnya lagi sambil tertawa senang, kepalanya dimiringkan sampai menyentuh bahu Aman.
"Mas bisa saja," kata Sevda dengan intonasi riang, merasa dirinya spesial karena menjadi satu-satunya wanita yang diinginkan suaminya.
Tiga wanita yang sempat 'berseteru' dengan Sevda tadi sudah tidak kelihatan batang hidungnya, barangkali sudah turun ke tempat parkir mobil di bawah. Sevda seperti kehilangan obyek yang menarik. Mata Sevda berpindah dari satu tempat ke tempat lain, seolah mencari seseorang.
"Sevda sudah tak sabar? Kita turun?" tanya Aman gagal memaknai tingkah Sevda.
"Nggak kok, kelihatannya kapalnya masih ngantri merapat, rasanya bakalan lama, barangkali karena musim liburan."
"Hmm ... benarkah? Sevda seperti orang yang sering menyeberang di sini."
"Tidak juga, terakhir ke Bali saat masih SMP."
"Sama dong. Sevda tunggu sebentar ya, di sini saja jangan kemana-mana. Mas mau lihat keadaan." kata Aman lalu berjalan ke luar ruangan, melihat situasi dermaga dari pinggiran dek kapal lalu berbalik kembali dengan langkah pelan.
"Benar katamu, Sayang. Beberapa kapal sedang ngantri merapat, entah giliran ke berapa kapal kita, kayaknya bakalan lama. Kita menunggu di sini saja, di luar angin."
"Kalau Sevda nggak malas merasakan vibrasi orang-orang dan benda di sekeliling, prediksi Sevda sering tepat," kata Sevda tanpa maksud menyombongkan diri.
"Kemampuan seperti itu langka, karunia Allah untuk sedikit saja orang." Aman memeluk bahu Sevda, mengalirkan kehangatan.
"Kadang Sevda memaknainya sebagai kutukan, terutama saat mengalami hal-hal yang mengerikan." Mata Sevda meredup, Aman tersenyum sambil menggenggam lembut tangan Sevda, menguatkannya tanpa kata-kata, membuat Sevda menemukan tempat ternyaman untuk melanjutkan curahan hatinya. "Mas tahu betapa beratnya hari-hari yang Sevda lalui. Entah bagaimana Sevda tanpa Mas."
"Aku juga, entah bagaimana Mas tanpa Sevda, kehadiranmu memberiku makna. Everything happens for a reason, Dear Sevda, jangan lagi menganggap kemampuanmu sebagai kutukan, ya," kata Aman mendadak bijak.
"Ya. Pasti ada maksud Allah di baliknya, bahkan debu terbang dan ke arah mana angin akan membawanya, semua itu sudah tertulis dalam skenarioNya."
"Juga lamanya kapal ini ngantri merapat, pasti ada maksud Allah di baliknya."
"Ya, berarti lebih baik menikmatinya saja daripada jengkel dan tak sabar."
"Ya, mari kita nikmati berada di sini, saat ini, dalam suasana ini. Jarang kita nikmati bukan? Berada di dalam kapal berdua, bukankah ini sesuatu yang manis? Cerita apa gitu dong, tentang hal-hal ghaib yang pernah Sevda alami."
"Mas mau Sevda cerita tentang apa?"
"Tentang apa saja boleh, Sebenarnya dari kemarin waktu di Malang, Mas penasaran, ada pertanyaan yang terus menerus mengganggu Mas. Memangnya setiap ada orang meninggal menemui Sevda?"
"Tidak selalu. Bila orangnya sudah menyelesaikan keterikatannya dengan dunia, biasanya tak mengganggu Sevda, tapi terkadang Sevda masih melihat keadaannya, tepatnya diperlihatkan oleh Allah sih."
"Oh, seperti yang pernah Sevda ceritakan wajahnya jadi ganteng dan disalami orang-orang itu ya."
"Iya, itu salah satunya."
"Salah duanya ada?"