Ancaman Oza kemarin siang benar-benar terjadi. Oza sepertinya memang berniat membuat Aya semakin ketakutan. Seperti pagi ini, Aya dipaksa masuk mobil bersama Asa. Memaksanya berangkat sekolah diantar si kanebo kering yang kaku dan galak.
"Lo di depan, Ya! Gue mau rebahan di belakang."
Aya mendelik tak suka. Mengkode Asa agar ia berangkat sendiri saja. Aya memang terbiasa berangkat sekolah memakai ojek online atau paling tidak naik angkot yang biasa mangkal di depan gang.
Pulang sekolah ia bisa membonceng Asa. Asa bisa naik motor sendiri, sedangkan Aya? Ah, dia trauma karena dulu ia pernah terjun ke sawah gara-gara naik motor.
"Gue sama lo aja di belakang, Sa!" Desis Asa. Jangan sampai Oza mendengar, nanti bisa disinisin balik.
Asa terlihat menimbang, "boleh sih, t-tapi ... "
Oza keluar mobil dengan muka mengkerut. "Kalian kenapa sih?! Masuk!"
Oza sebenarnya bukan orang yang irit bicara, bukan juga orang pendiam. Sifatnya lebih ke kaku, nggak asyik kata Asa, dan monoton. Walaupun begitu Oza juga bisa galak sewaktu-waktu.
Asa bergegas masuk ke bangku penumpang, Aya juga bergegas mengikuti. Tapi, ucapan Oza menghentikan tindakannya, "ngapain lo?! Gue bukan sopir. Duduk depan!"
Aya mengelus dada sabar. Kakak beradik ini sungguh membuat pagi Aya berantakan.
Tumben-tumbenan Oza jam segini sudah berkeliaran. Setahu Aya, Oza baru turun dari kamar ketika mau berangkat kerja. Ini? Ck, mana Asa seperti menurut saja dengan kakaknya itu.
Situasi dalam mobil hening. Aya pun tak berani menoleh, ia hanya duduk mepet ke pintu mobil. Melihat ke luar. Sepertinya Asa memang masih mengantuk, lihat saja, Asa sudah tertidur pulas di belakang.
"Kenapa mojok-mojok?! Gue nggak gigit!"
Aya memejamkan matanya. Sekali lagi, ia menenangkan jantungnya yang berdisko.
"Nih, makan!"
Aya melihat tangan Oza yang memberinya roti. Roti selai rasa vanilla kesukaan Aya. Oza tahu, Aya belum sarapan karena mama-nya masih di luar kota menemani ayah Aya. Aya mana bisa masak. "Punya tangan, kan? Cepat ambil!"
Aya bergegas mengambil roti itu dari tangan Oza. Aya teringat kejadian hari minggu. Dimana ia ingin membuat Oza ilfeel. Dulu kata Asa, Oza suka perempuan yang anggun dan menurut.
Walaupun Aya tahu Oza tak mungkin suka padanya. Makannya ia berniat membuat Oza ilfeel. Kali saja Oza mengurungkan ucapan yang ingin membuat hidup Aya tak tenang.
Asa membuka bungkus roti kasar. Membuat Oza refleks menoleh. Dahinya berkerut. Sesekali Oza mengawasi Aya yang makan tak seperti biasanya. Gadis itu lapar apa doyan? Aya melahap roti itu besar-besar, hingga pipinya mengembung.
Sesampainya di depan sekolah, Oza membangunkan Asa. "Bangun!"
Mengerjapkan mata, Asa terbangun dengan muka bantal, "ih, Bangza. Masih ngantuk!"
"Sekolah."⁸
"Udah tau sekolah, emang Asa mau pargoy?"
Asa keluar mobil dengan muka kusut. Ia masih mengantuk karena kemarin begadang menonton drakor favoritnya. Tak tau harus berbuat apa, Aya memutuskan ikut turun.
"M-makasih, Bangza," lirihnya.
"Tunggu!"
Aya menoleh, terpaku beberapa detik. Jari Oza mampir ke sudut bibirnya, mengusap selai vanilla yang tertinggal. "Sekolah yang bener."
Aya mengangguk takut. Bergegas turun. Dari dalam mobil, Oza tersenyum miring, mengawasi Asa yang mencoba mengejar langkah Aya yang terlalu cepat.