"BANGZIIIIII... "
Setibanya di rumah mereka, Asa langsung menghambur ke pelukan Ozi. Bergelayut manja di lengan Ozi. Oza menatapnya jijik. Bergidik ngeri, jika dirinya yang Asa gelendoti, ia akan menjauh. Berbeda dengan Ozi yang menatap sayang sembari mengusap kepala Asa.
"Kenapa adek gue yang cantik," ucap Ozi membuat Oza muak.
Hey, dirinya anak keluarga ini bukan, sih? Kenapa Oza marasa hanya dirinya yang berbeda.
"Bangza tadi pagi janjiin Asa mau kasih bonus uang jajan kalau--- APA SIH, BANGZA?! DIEM!"
Oza refleks menarik Asa. "Iya-iya, nanti abang kasih. Lo yang diem!" Desis Oza.
Jangan sampai Asa membocorkan rahasianya. Asa bersorak senang, mencium pipi Oza lalu beranjak ke atas. Oza mengernyit jijik sembari mengusap pipinya. Menatap Ozi yang menahan tawanya, Oza berdecak sebal, "adek lo laknat banget, sih."
"Lo nya aja yang aneh. Dicium adek sendiri kayak dicium bencong!"
"Tumben nggak ke kantor lo?"
"Malas."
"Gue bilang bapak Benua, nih. Kok lo sekarang jadi malas, sih? Biasanya lo lebih rajin lho dari gue. Ck. Ck. Ck. Tapi, nggak papa deh, biar bapak Benua tau lo juga bisa malas."
Oza tak menanggapi omelan Ozi. Ia menapaki tangga menuju ke kamarnya. Sesampainya di kamar, Oza berbaring terlentang. Tangannya ia letakkan di belakang kepala, menatap langit-langit kamarnya.
Oza bohong ingin bermain-main dengan Aya. Ia hanya mengetes Ozi. Apakah kembarannya itu mempunyai perasaan dengan Aya?
Hatinya sedikit lega ketika Ozi hanya menganggap Aya adik. Oza bingung dengan dirinya sendiri. Seseorang tolong beri tau Oza. Ini perasaan apa namanya?
Gadis itu sudah berhasil menganggu ketenangan Oza. Selama ini Oza selalu bersikap bodo amat dan cuek dengan perempuan selain bunda dan Asa. Tapi, gadis itu tiba-tiba saja memasuki inti kehidupannya setelah belasan tahun yang lalu. Aya berhasil membuat Oza memusatkan perhatiannya.
Tatapan takut Aya seakan membuat Oza candu. Ia ingin sekali bertanya, apakah raut muka Oza memang menyeramkan?
Ia ingin dekat, tapi Oza tidak tahu caranya. Setiap mendekat, Aya selalu menghindar sembari menatapnya takut. Oza kan jadi sebal sendiri. Hingga ia tak sadar selalu kelepasan membentak Aya.
Memang kesalahannya dulu, mengejek Aya kecil yang pendek. Ya, memang sih. Tinggi Aya bahkan tidak sampai dadanya.
Ngomong-ngomong tentang Aya, Oza jadi teringat apakah Aya sudah pulang atau belum. Oza beranjak. Mengacak rambutnya lalu berjalan ke balkon kamar. Entah suatu keberuntungan atau kesialan bagi Oza, kamar Aya persis diseberang kamarnya. Mengamati kamar Aya bisa dibilang kegiatan Oza setiap malam. Ia tahu, jam berapa gadis itu tertidur, sampai jam berapa gadis itu begadang. Oza tahu.
Jika Aya begadang maka Oza akan duduk di balkon kamarnya. Mengawasi hingga lampu kamar Aya padam. Menandakan penghuni kamar sudah ingin terlelap.
Kembali ke situasi saat ini, dimana Oza masih betah mengawasi rumah Aya. Mobil milik tante Sania dan Om Heru sudah terpakir di garasi rumah itu. Orang tua Aya sudah kembali. Oza tinggal menunggu Aya mengantar oleh-oleh ke rumahnya.
Sepertinya Aya belum pulang. Sesaat sebelum Oza masuk ke kamarnya, suara motor berhenti di depan rumah Aya. Sedikit bersembunyi, Oza mengawasi.
"Makasih, Rey." Ucap Aya sembari mengembalikan helm pada Rey.
"Yoi lah. Kapan-kapan kalik kita hangout kemana gitu."
Aya berpikir sejenak, "okedeh. Tapi, nanti aku ijin dulu, ya!"