Endah sudah kehilangan Bapak. Kenapa Endah harus kehilangan Adek juga? Apa salah Endah ya Gusti Allah? Kenapa Endah selalu membawa sial? Semenjak berpulangnya Adek, tidak hanya membuat luka baru di hati Mamak. Tapi aku juga ikut mati bersama Adek. Kami makin menderita.
***
Aliran air deras dan tenang mengairi suatu perkampungan asri. Matahari membumbung tinggi tepat di atas kepala. Siapa pun yang berani keluar saat tengah hari ini begini, pasti akan merasakan gigitan sinar matahari yang teramat menyakitkan. Langit cerah dengan awan-awan membumbung tinggi tak lupa menghiasi suasana siang hari ini.
“Adek, yuk berenang! Terasa sejuk nih pastinya.” Seorang gadis berambut panjang hitam diikat kuda berujar senang. Rambutnya diikat dengan gelang karet bekas mengikat sayur. Ngapain beli ikat rambut, toh ini sama saja.
“Kak, aku nggak bisa berenang. Jangan seret-seret aku. Aku toh tak suka main air.” Anak laki-laki yang berumur lebih kecil dua tahun darinya berkomentar kecut. Kulitnya yang berwarna hitam manis cocok dengan giginya yang putih kinclong.
“Ih, tak seru sekali sih kamu! Kamu yang ajak kakak keluar. Kamunya yang nggak main. Ya udah, biar kakak aja yang renang. Kamu disini aja. Jangan kemana-mana.”
“Iya ah, bawel.”
“Bukan bawel. Tapi kalau kamu hilang. Kakak yang kena marah Mamak. Kamunya ngeyel, kakak yang cipratan liur dari Mamak. Gak adil tahu!”
Byur. Dua menit kemudian, Endah telah menikmati kesejukan air sungai. Ia membiarkan air mengalir ke seluruh tubuhnya. Dari atas kepala sampai ujung kaki dibiarkannya basah. Ia tidur di sebuah batu yang cukup besar dan sedikit rendah dari ketinggian air sungai. Dikatup kedua matanya perlahan.
Namun, itu tidak berselang lama. Kelopak matanya terasa seperti dipatuk oleh panasnya terik matahari. Ia menoleh ke tempat adik laki-laki satunya berdiri di tepi sungai.
“Adek, ayo berenang sini! Ngapain berdiri disana. Rugi loh.”
“Nggak mau!” Adek semakin merengut. Ia menoleh kesana-kemari. Tak ada anak-anak seusia mereka bermain di sekitar sana pada saat pukul dua belas siang. Teman-temannya pasti masih sibuk membantu orang tua mereka masing-masing. Mumpung hari ini adalah akhir pekan. Tidak bersekolah. Ada yang membantu orang tua dengan pekerjaan di sawah, mencari kayu bakar di hutan, menjual kelapa muda di pasar, maupun bekerja di ladang peternakan.
Biasanya Endah dan Adek juga akan membantu Mamak bekerja saat akhir pekan. Mamak menjajakan dagangan pecel di pasar. Pergi pagi, pulang sore. Tetapi hari ini Adek dan Endah tidak membantu Mamak karena suatu pernyataan yang dilontarkan Adek saat pagi-pagi buta pagi tadi.
“Mak, Adek nggak ikut ke pasar ya. Lagi banyak PR dari sekolah.”
“Oh tidak apa-apa, Le. Selesaikan tugasmu. Belajar yang rajin ya, Le. Biar nggak kayak Mamak, cuman bisa jualan pecel di pasar.” Mamak berucap dengan lembut. Beliau sibuk menyiapkan sayur dan bumbu pecel yang akan dibawa ke pasar. Puluhan bulir keringat menghiasi parasnya yang lembut dan cantik. Setahun belakangan, ada saja pemuda-pemuda sampai para duda yang datang untuk mempersunting beliau. Bahkan kabar kecantikan Mamak tersiar sampai kampung sebelah. Namun, ia selalu menolak dengan senyuman.
Saya berjanji akan mencintai almarhum suami saya sampai mati, karena kami telah berjanji untuk bersama sehidup semati.
Endah yang sedang menempuh pendidikan di bangku kelas enam sudah mendapatkan pengetahuan tentang pernikahan. Ia sering kali berkomentar kecut di dalam hati. Ia penasaran.
Kenapa Ibu tidak menerima lamaran dari para pria itu? Bukankah lebih baik? Mamak tidak perlu bekerja keras seharian demi membesarkan kami?
Namun, Endah tak berani berkomentar. Ia sangat tahu kepribadian Mamak yang tegas jika mengungkit hal ini. Keras kepala. Dan apa yang bisa diperbuat oleh anak gadis berusia 11 tahun?