“Yang tabah bu. Adek sudah tenang disana. Mari kita berdoa buat Adek.” Bu Asih, tetangga sebelah rumah menenangkan Mamak.
Mamak tampak kusut dan tak bersemangat. Seolah jiwanya tak ada di raganya. Wajahnya tak pernah kering. Air mata selalu bertengger di sana. Belum lagi ingusnya yang sudah entah berapa kali diseka dengan selendang hitam yang dikenanya. Ia tak bisa berdiri dengan benar. Untung aja ada Bu Asih yang membantunya berjalan dan berdiri. Bahkan sekaligus sebagai juru bicara, menyambut para penduduk yang mulai berdatangan, melayat Adek.
Bulu kuduk Endah menegang. Kengerian membumbung tinggi mengitarinya. Adek terbujur kaku di balik sarung cokelat motif batik. Terbentang menutupi tubuhnya. Ia ditidurkan di ruang tamu. Rumah mereka tidak besar. Jadinya hanya muat segelintir penduduk yang bisa masuk ke dalam, sedang yang lain bercengkrama di luar. Bapak-bapak merokok dan mengobrol satu sama lain. Sedangkan Ibu-ibu mengerubungi Mamak, sembari menenangkan.
Endah berlari ke luar rumah. Dirinya tak kuat jika harus melihat kematian anggota keluarganya untuk kedua kalinya. Pertama Bapak, sekarang Adek yang paling disayanginya. Ditambah Adek meninggal diakibatkan oleh keteledorannya.
Seandainya aku tidak memaksanya ke sungai.
Seandainya aku tidak mendorongnya ke sungai.
Seandainya aku yang hanyut.
Seandainya aku dan Adek ikut Mamak ke pasar.
Seandainya ….
Endah tak bisa berkata-bata. Sebelum Adek ditemukan sampai Adek ditemukan keesokan harinya, ia membisu. Bibirnya kelu dan tenggorokannya tercekat. Setiap kali para penduduk melihat dirinya, pasti mereka akan langsung memicingkan matanya dan saling berbisik.
Ia berjalan tanpa tujuan. Matanya tak bisa nampak jelas. Blur. Matanya bengkak dan penuh dengan air. Tanpa disangka sungai menjadi tujuan akhirnya. Duduk di bawah pohon dan menatap kosong aliran air sungai di depannya. Pandangannya sedikit terhalang. Ada palang tinggi dan panjang menutupi sepanjang sungai, tertulis “Jangan ada yang ke sungai. Masih bahaya! Tanggul rusak. Masih sedang perbaikan”.
***
Kembali ke kejadian beberapa jam yang lalu. Siang yang terik. Pukul 12.00. Saat dirinya dan Adek bermain di sungai ini.
“Kak, tolong Adek kak! Adek … takut ... Kakak … Mamak!” Adek berteriak sampai tenggorokannya tercekat. Hidungnya terasa perih. Beberapa kali ia tersedak karena air sungai masuk ke kedua rongga hidungnya dan juga mulutnya.
Ratusan liter air telah ditelannya berkali-kali. Endah yang terus berlari di pinggiran sungai nampak sangat jauh baginya. Ia semakin jauh dari kakaknya. Semakin jauh dari pinggiran sungai. Ia melihat sekitar. Tak ada yang bisa digapai. Ranting, pohon atau batu tak mampu ia gapai. Air terlalu deras membawanya. Tubuhnya terasa seringan bulu.
Berkali-kali ia harus mengerang sakit saat anggota tubuhnya terantuk sesuatu. Kakinya terbentur batu. Pantatnya yang tertusuk dengan kerikil tajam. Telapak tangannya yang lecet. Ia mencoba memegang ranting pohon yang menjuntai panjang ke arah sungai, tapi ranting itu patah. Tak mampu mengimbangi berat tubuhnya.
“Adek, bertahan Adek! Kakak berlari ke jembatan.” Endah tidak tahu apakah teriakannya barusan dapat terdengar jelas oleh Adek. Karena dalam pandangannya kini, Adek mulai menjauh dan hanya menampakkan kepala bagian atas sedang kedua tangannya terbentang di atas.
“Adek, julurkan tanganmu!” perintah Endah saat ia telah berjongkok di jembatan kayu. Jembatan penyeberangan yang biasa dipakai penduduk untuk mengangkut hasil kebunnya ke pasar. Jembatan itu agak bergoyang saat air sungai menamparnya berkali-kali. Bagi Endah ini adalah masalah kecil. Apapun bahaya di depan, ia tak pernah takut.
Adek berusaha menggapai telapak tangan kakaknya. Jari telunjuk dan tengahnya sudah berhasil diapit. Namun, jarinya terlalu basah. Alhasil dua detik kemudian, tangannya kembali terlepas dari genggaman tangan kakaknya.