Pagi ini suasana terasa asing bagi Endah. Ia tidak bisa tidur semalaman. Kamarnya terasa sepi. Biasanya saat ia terbangun di pagi hari, ia akan mendapati adiknya telah memonopoli sarungnya untuk dijadikan selimut. Alhasil kulit Endah akan terasa dingin jika dipegang karena angin malam yang masuk lewat celah-celah jendela dan terdapat bulatan-bulatan merah bekas nyamuk pesta semalaman.
Adiknya biasanya menyelinap masuk saat tengah malam. Mimpi buruk katanya. Namun, sampai pagi pun sarung tetap berada di atas badannya, rapi menutup badannya dari gigitan nyamuk dan dinginnya malam. Matanya makin sembab, panas, dan bengkak.
“Endah, Mamak mau ke sungai. Mamak udah siapkan makanan di atas meja. Habis makan langsung pergi sekolah ya!”, lirih Mamaknya di balik kain yang dijadikan penutup kamar Endah. Di rumah mereka hanya ada dua pintu, yaitu pintu depan rumah dan pintu belakang rumah.
“Mak!” Endah turun dari tempat tidur. Berlari. Memeluk Mamak dari belakang. Mamak sudah akan keluar rumah saat Endah memeluk pinggangnya. “Maafin Endah. Endah teledor menjaga Adek. Harusnya … harusnya Endah … tidak mengajak … Adek ke sungai.” katanya terbata-bata. Sesekali sesenggukan. Suara yang ditimbulkan juga serak.
Mamak berbalik. Memegang lengan Endah. Endah melonggarkan pelukannya. Mamak perlahan menurunkan badan sampai kedua lututnya menyentuh karpet yang dijadikan sebagai lantai ruang tamu. Kini mereka nampak sejajar. “Endah, ini namanya musibah dan siapa tahu Adek masih selamat. Dia menunggu kita di daratan sungai di daerah lain atau siapa tahu Adek telah diselamatkan oleh warga dan sekarang berada di salah satu rumah warga kampung sebelah. Mamak yakin Adek akan pulang, bukan begitu?”
Pernyataan sekaligus pertanyaan Mamak sangat ambigu baginya. Ia semakin merasa bersalah dan mengutuk dirinya sendiri. Mamak mengusap air mata dan menyeka ingus yang bertengger di muka imut anak gadisnya dengan punggung tangannya.
“Sekarang kamu makan dan siap-siap ke sekolah. Ingat, ujian sekolah sebentar lagi akan dimulai. Jangan bolos ya! Tidak baik.”
“Iya, Mak!”
Endah hanya mampu berkata iya. Ia berbalik dan siap-siap berangkat ke sekolah.
Sedangkan Mamak pergi ke sungai dan hari ini ia tidak berjualan pecel. Tidak ada pemasukan. Lagi.
Endah adalah tipe anak yang dapat mengurus diri sendiri. Ia sudah mandiri. Dia sudah bisa memasak dengan tungku dan kayu bakar sejak menginjak usia tujuh tahun. Menanak nasi, mencuci baju, sampai memperbaiki barang yang rusak sudah menjadi kebiasaannya. Apalagi ditambah kepergian Bapak setahun yang lalu. Sesuatu yang terbiasa menjadi rutinitas. Dengan mengurus dirinya sendiri sebelum berangkat sekolah adalah hal kecil baginya. Menyikat gigi, makan pagi, mandi, dan berganti pakaian. Tak lupa ia membawa tas anyaman bambu yang terpaksa ia rakit karena tasnya bolong dimakan tikus.
Beberapa minggu yang lalu saat tas sekolahnya rusak, ia ingin sekali meminta Mamak untuk membelikan tas baru. Kebetulan toko tas di pasar ada tas berwarna merah muda bergambarkan kartun kesukaannya, Barbie. Karakter seorang gadis yang dapat menjadi diri sendiri hingga sukses sampai besar. Ia ingin menjadi seperti Barbie suatu saat nanti. Punya banyak uang dan rumah sendiri.
“Hei, Endah. Tega sekali kau bunuh adik kau sendiri. Apa kau sengaja buat adik kau meninggal? Biar Mamak kau cuman sayang kau seorang kan? Emang kurang didikan kau.” Seorang gadis, teman sekelasnya menunjuk-nunjuk dan berkomentar pedas. Bahkan sebelum Endah menaruh tasnya di atas bangku sekolah.
Endah berhenti sebentar. Tak menjawab. Kemudian berjalan masuk ke dalam kelas. Duduk di bangkunya.