Pusara Adek sudah ditumbuhi dengan rumput. Tanahnya yang berwarna merah sudah tidak kentara. Tepat di sampingnya ada pusara Bapak. Pusara Bapak berukuran dua kali lipat lebih besar dibandingkan Adek. Bahkan bukan hanya pusara Bapak. Semua pusara yang berada di pemakaman berukuran lebih besar dibandingkan pusaran Adek. Adek adalah makam anak-anak pertama yang berada disini.
Angin menyapu rambut Endah dengan lembut. Seakan menyambutnya selamat datang. Dipandanginya lekat-lekat dua pusara yang ada di depannya. Nisannya sudah nampak menghitam. Terkena hujan dan panas. Namun nama yang terukir disana masih nampak jelas, serupa dengan kenangan almarhum semasa hidup. Tersimpan di dalam benak dan hati Endah.
“Bapak, Adek. Kenapa kalian harus meninggalkan aku? Kenapa bukan aku saja yang mati? Jika kalian hidup, kalian masih bisa bekerja dan mencari nafkah. Bahkan bisa ke kota besar. Mamak tidak perlu bekerja keras sepanjang hari. Kalian adalah sumber kebahagiaan Mamak, bukan aku. Kami hidup miskin disini. Menderita dalam kesengsaraan,” lirihnya menahan air mata yang berkumpul di kedua matanya.
Ia mengusap ingus dengan punggung tangan kanannya. Ia mendongak sebentar untuk melihat ke arah lain. Ada Mamak disana. Berdiri tidak jauh darinya.
Kenapa Mamak tahu aku ada disini?
Ia membalikkan badannya. Membelakangi pusara Bapak dan Adek. Menghindari kontak mata dengan Mamak.
“Nduk, Mamak minta maaf. Sikap Mamak membuatmu kecewa. Tapi percayalah Mamak sayang sama kamu, Nduk. Kamu anak gadis yang pintar, bertanggung jawab, dan ceria. Dan akan selalu begitu. Mamak bangga memiliki anak cantik seperti kamu, Nduk.” Mamak mendekat. Tangannya dijulurkan ke depan, ingin mengusap rambut bagian belakang anak gadisnya. Namun, niatnya diurungkan saat anaknya berbalik. Memandanginya.
“Lantas jika sayang kenapa Mamak nggak pernah membelikan apapun untuk aku? Aku minta tas baru, Mamak bilang gak ada uang. Aku minta baju baru, Mamak juga bilang gak ada uang. Aku tahu kita harus hemat dan aku tahu kita harus pintar-pintar menggunakan uang. Jadinya, aku hanya meminta barang yang perlu aku butuhkan. Mamak tahu berapa bukuku yang basah terkena hujan? Mamak tahu berapa jahitan dan tambalan baju Endah yang udah robek? Endah malu Mak. Endah malu saat keluar bareng teman-teman Endah. Semua mengejek Endah. Endah gak punya teman, Mak!” Tangisnya pecah. Tanggul di matanya sudah tidak mampu menahan luapan air. Pipinya basah. Mukanya memerah. Tubuhnya berguncang hebat.
Mamak perlahan menjulurkan kedua tangannya, ada sedikit keraguan, takut Endah akan menepis pelukannya. Namun, pikiran negatif kecilnya salah. Endah diam dalam pelukan Mamak. Tubuhnya yang berguncang kian mereda. Tinggal tersisa tangisan.
“Mamak salah. Mamak minta maaf. Tangan Mamak otomatis saja saat melihat baju anak kecil di pasar. Mengingatkan Mamak dengan Adek. Mamak,” Kini Mamak yang meneteskan air matanya. Mata dan hidungnya terasa perih. “Menyayangimu dan maaf Mamak belum bisa menjadi orang tua yang sempurna. Gimana kalau besok kita ke pasar. Beli tas dan baju baru untuk kamu?”
“Tidak, Mak. Tidak perlu. Sudah tidak penting. Aku tahu, kemarin dan hari ini dagangan pecel tidak laris. Pemasukan kita berkurang. Pengeluaran juga harus dikurangi. Aku juga minta maaf dengan Mamak. Hanya Mamak satu-satunya keluarga yang Endah miliki. Hanya Mamak yang masih berada di dekatku. Sedangkan, Bapak dan Adek telah meninggalkanku, karena kebodohonku.”
“Nduk, jangan berpikiran seperti itu. Semua adalah musibah. Jangan menghukum diri sendiri. Mamak sudah rela dengan kepergian mereka. Sekarang yuk kita pulang. Cuaca malam nggak bagus untuk badan.”
“Iya, Mak.”
Mereka tersenyum bersama-sama dan berjalan seiringan meninggalkan area pemakaman. Angin malam mulai terasa menusuk-nusuk kulit mereka.
“Mak, hari ini kita buat pecel kreasi baru yuk!”
Mamak mengerutkan dahinya.
“Pecel krenyes. Kerupuk peyek dipatahkan kecil-kecil kemudian dicampur ke bumbu pecel. Dimakan bersamaan dengan nasi hangat. Beuh. Enak.”
Mereka bertemu pandang satu sama lain, kemudian terdengar gelak tawa.
Terima kasih dan maaf Mak. Aku belum bisa bahagiakan Mamak.
***
Hari-hari ke depannya berjalan seperti biasa. Mamak tetap berjualan pecel di pasar. Endah bersekolah. Semenjak Endah duduk di bangku Sekolah Menengah Atas, kegiatannya semakin padat. Jam pelajaran semakin banyak, ditambah dengan kegiatan minat dan bakat yang wajib diikuti oleh murid-murid. Biasanya setelah sekolah telah selesai, Endah akan menyusul Mamak ke pasar. Membantu membereskan dagangan. Hanya di akhir pekan saat tidak ada kegiatan sekolah, ia akan membantu Mamak di pasar seharian.
“Endah, teman-teman mau ke pasar malam entar malam. Ikut gak?” Salah seorang dari teman sekelasnya menepuk pundaknya. Ia sedang mengeluarkan bumbu pecel dari bungkusan daun pisang.