Jam dinding menunjukkan pukul sembilan malam saat Endah pulang ke rumah. Sebelum ia masuk ke dalam rumah. Ia mundur beberapa langkah. Memandangi lekat-lekat rumahnya yang sudah ditinggalinya dari kecil itu. Rumah anyaman bambu yang tidak luas. Dikelilingi dengan perkebunan yang tentu saja bukan milik keluarganya. Perkebunan itu ditumbuhi dengan pohon kelapa milik Bu Asih dan keluarga.
“Seandainya Bapak ada meninggalkan warisan perkebunan. Kami tak perlu bersusah payah mengais rezeki yang tak ada ujungnya ini. Gimana mau kaya, makan sehari-hari saja susah sekali.”
Ia menarik napas dalam-dalam dan mengembuskannya perlahan. Ia memalingkan pandangannya. Mendongak ke atas. Bintang-bintang bertaburan indah di atas kepalanya. Jumlahnya banyak. Berkilauan.
“Bahkan langit lebih indah daripada kehidupanku.”
Ia kembali memandangi rumahnya. Rumahnya sudah tua. Rumah bambu itu pasti akan tumbang dan hancur seketika jika terkena angin puting beliung. Bahkan angin besar juga mampu menghancurkannya dalam sekali hempasan.
“Aku ingin dibelikan perhiasan, Mak.” lirihnya hampir tidak kedengaran.
Hembusan angin mulai menusuk kulitnya. Ia segera masuk ke dalam rumah dan menutup pintunya dengan kayu balok.
“Pagi, nduk!” sapa Mamaknya saat Endah keluar kamar dengan tampang belum tersadar seratus persen.
Kepulan asap dari kayu bakar sebagai bahan bakar tungku mulai menenuhi seisi dapur. Terdengar Mamak batuk sekali dua kali.
“Mak, biar Endah yang buat bumbu pecelnya saja. Mamak istirahat saja,”
“Jangan, Nduk. Kamu fokus saja dengan ujian sekolah kamu. Kalau tidak salah kata gurumu kemarin, minggu depan ujian sudah dimulai ya?”
“Itu gampang Mak. Endah bisa belajar saat malam hari,” Endah mengambil sudip yang dipakai Mamak untuk mengoseng bumbu pecel. Mamak mundur beberapa langkah dan duduk di sebuah kursi anyaman bambu. Ia memijit pundak kanannya dengan telapak tangan kirinya. “Mak, Endah mau beli perhiasan.”
“Perhiasaan? Nduk, jangan aneh-aneh. Perhiasaan itu mahal, nduk. Untuk makan saja kita susah. Bagaimana bisa membeli perhiasan?”
“Tapi Mak, teman-teman Endah punya perhiasan. Mereka semua ada. Cuman Endah yang nggak ada. Kenapa Endah tidak boleh?” Endah menuangkan bumbu pecel yang sudah jadi ke dalam wadah mangkok besar.
Walau menggerutu ia tetap memperhatikan bumbu pecel supaya tidak gosong. Tentu saja ia harus berkonsentrasi dalam memasak, karena bumbu pecel bagai uang. Cuman itu sumber penghasilan mereka. Hanya itu.
“Endah, dari kemarin kamu selalu minta yang aneh-aneh. Tas baru. Baju baru. Sekarang perhiasaan. Kamu sudah berubah, Endah!” Mamaknya kelepasan. Suaranya meninggi. Mukanya memerah.
Endah berdiri dan menoleh ke belakang. Mamak tak pernah semarah ini dengannya.
“Mak, Endah tidak berubah. Mamak yang berubah. Endah sudah menuruti keinginan Mamak untuk bantu jualan pecel di sekolah, sampai-sampai Endah harus merengek meminta mereka untuk membelinya, supaya kita bisa hidup. Uang jajan pun Endah gak punya. Lalu, tabungan ayam yang selama ini Endah tabung, terpaksa dipecahkan karena penjualan kita terus menurun. Kenapa Mamak hanya bisa jualan pecel sih? Kenapa Bapak tidak meninggalkan warisan banyak? Kenapa kita miskin Mak?”
Endah meninggikan suaranya. Mukanya merah padam.
“Nduk, sadar nduk. Mamak menyekolahkan kamu tinggi-tinggi supaya kamu tidak menjadi seperti Mamak yang bahkan tidak lulus SD. Jangankan menulis, membaca saja Mamak tidak bisa. Iya, Mamak salah. Kenapa kita miskin? Kenapa Bapak meninggal terlebih dahulu dan kenapa Adek harus meninggalkan kita?”
“Mamak egois. Dulu banyak pemuda di luar sana yang mengantre untuk mempersunting Mamak. Mamak kenapa tidak memilih salah satu dari antara mereka? Kalau Mamak terima, bisa saja kita tidak semiskin ini Mak?”