Bumbu Pecel Terakhir Nenek

Veron Fang
Chapter #6

Dasar Anak Setan

Matahari sudah berada di atas ubun-ubun. Namun, angin masih terus membelai lembut. Rumput di dataran rendah dan bukit bergoyang seiringan. Terdapat sebuah pohon rindang di salah satu bukit itu. Biasanya anak-anak akan berlarian, bermain petak umpet, dan bermain ayunan disana. Sengaja digantung sebuah ayunan oleh salah seorang warga kampung. Sukarela katanya, biar anak-anak senang.

Namun, sekarang bukan anak-anak yang berada di sana. Mana ada anak-anak ataupun orang dewasa naik ke bukit saat cuaca seterik ini. Hanya ada seorang gadis yang hendak lulus dari bangku SMA, seorang gadis yang duduk dalam diam di atas ayunan, seorang gadis yang meratapi nasibnya. Dari atas sana, ia dapat melihat dengan jelas rumah warga yang atap rumahnya semuanya sudah berkarat. Tidak ada yang memasang atap baru, kecuali rumah tenak.

“Suatu hari nanti aku akan menggapai kesuksesan, aku akan menikah dengan orang kaya, dan anakku juga akan sukses. Ia tak perlu bersusah payah sepertiku saat ini. Anakku harus bahagia.

“Nduk!” teriakan dari jauh terdengar. Seperti terbawa angin, menyentil daun telinganya.

Ia menoleh ke belakang, kemudian menoleh ke kiri, kanan. Tak ada seorang pun di atas bukit selain dirinya. Ia membalas pernyataan barusan, “Mamak?”

Ia bangkit dari kursi ayunan dan mulai menuruni bukit. Tak perlu waktu lama, sekitar tujuh menit kemudian, tampak seorang ibu-ibu berpakaian kebaya khas Jawa berjalan dengan susah payah. Bukan karena ciri khas kain yang dijadikan rok sebagai hambatan, melainkan batuknya yang masih terus mendera. Tenggorokan dan perutnya terasa sakit tiap kali ia terbatuk.

“Mamak?” Endah berlari dengan cepat, menggapai lengan kanan Mamak. Ia menoleh kesana-kemari dan matanya menangkap sebuah kursi panjang yang ada di sekitar sana. Ia menuntun Mamak ke sana, “Mamak ngapain kesini? Bukannya istirahat, kenapa malah kesini?” tanyanya dengan intonasi bicaranya masih nyelekit. Tajam.

“Nduk, Mamak tak tenang. Mamak takut kehilangan kamu, seperti Mamak kehilangan Adek. Meninggalkan kalian sendirian di rumah adalah kesalahan Mamak. Seandainya Mamak tidak ke pasar, seandainya …”

Uhuk.

Mamak tidak bisa melanjutkan kalimat selanjutnya karena kerongkongannya terasa menggelitik. Endah sudah akan berpikiran macam-macam saat Mamak membuka katupan telapak tangannya dari mulut. Terdapat gumpalan berwarna putih kehijauan disana. Endah menghela napas. Lega.

“Mamak, Endah udah besar. Endah bukan anak usia 11 tahun yang bodoh itu lagi. Dan Mamak kan seharusnya di pasar bukan disini. Bukit ini jauh dari rumah, Mak dan kenapa Mamak bisa tahu aku ada disini?”

“Kalimatmu panjang sekali. Mamak jadi bingung mau mulai darimana,” Mamak membetulkan posisi duduknya. Ia menyentuh punggung tangan anak gadisnya yang masih bertengger di lengannya. “Nduk, maafkan Mamak. Mamak telah membuat luka di hati kamu. Mamak tidak mau, rasa kerinduan Mamak kepada Adek malah membebani kamu. Tapi, kepergian Adek waktu itu terlalu tiba-tiba.”

“Endah memang terluka karena kepergian Adek yang disebabkan oleh kecerobohan Endah sendiri. Apa Mamak tahu, apa yang membuat Endah lebih terluka?”

Mamak menatap lekat-lekat kedua mata anak gadis semata wayangnya. Meminta jawaban. Apa?

Endah mengingat kembali kejadian enam tahun lalu. Saat Endah melaporkan kepada Mamak perihal Adek tenggelam, terbawa arus sungai. Saat perjalanan pulang.

Lihat selengkapnya