Bumbu Pecel Terakhir Nenek

Veron Fang
Chapter #7

Adek Udah Mati, Mak. Udah Mati.

Akhirnya hari yang telah ditunggu telah tiba. Hari yang membuat perutnya sering terasa kram dan membuatnya perlu bolak-balik ke toilet. Sedari tadi ia mondar-mandir menunggu di depan kelas. Perutnya kram lagi, tangannya dingin, dan jantungnya berdegup dalam tempo yang cepat.

Ia tidak tahu apakah teman-teman sekelasnya maupun seangkatannya merasakan hal yang sama atau tidak. Mereka masih bisa bercengkrama satu sama lain. Tertawa sambil menangis. Mereka seperti tidak lebih khawatir dibandingkan dengannya.

Ia memutar kepalanya, melihat Mamak yang diam dalam duduknya. Mata Mamak mengatup. Kurang tidur. Kulitnya yang keriput dan rambutnya kian memutih tetap tidak mengurangi kecantikannya. Lesung pipit masih setia menemani di kedua sisi pipinya. Bibirnya semerah buah delima cocok dengan kulit wajahnya yang putih. Semenjak beberapa bulan yang lalu Mamak suka makan daun sirih alias nyirih.

Endah tak begitu protes akan perubahan Mamak, setidaknya jika itu tidak merugikan dirinya dan diri Mamak sendiri. Satu hal yang Endah sayangkan kenapa Mamak menolak lamaran dari juragan kota tempo hari.

Jika Mamak menerima pinangannya, pasti aku udah di Jakarta sekarang. Kerja di gedung tinggi. Tinggal di lingkungan orang-orang gaul. Jalan-jalan ke mall saat akhir pekan. Bahkan bisa ketemu orang-orang kaya. Gak perlu susah kayak gini.

***

Waktu itu hari Senin. Mamak tidak berjualan di pasar karena sedang tidak enak badan. Endah berniat untuk berjualan mengganti Mamak, tapi Mamak melanggar.

“Kenapa Endah tidak boleh jualan Mak? Mamak tenang saja. Aku sudah tahu porsi jualan Mamak. Aku tidak akan salah.”

“Tidak perlu, nduk. Mamak juga belum mengoseng bumbu kacang. Sekarang juga sudah siang. Tidak laku entar.”

Lagi-lagi Mamak beralasan, yang menurut Endah alasannya sedikit tidak masuk akal. Sekarang baru pukul 06:00 dan dengan jelas, Endah melihat Mamak mengoseng bumbu kacang tadi subuh, sebelum Mamak merasa badannya sedang tidak nyaman. Mamak masuk ke dalam rumahnya. Masuk ke dalam kamar.

“Tapi, Mak bukannya tadi Mamak sudah ....” Endah belum menyelesaikan pernyataannya. Ia yang sedang menyapu di halaman depan dikagetkan dengan seseorang.

“Permisi!”

Seorang pria paruh baya berpakaian jas rapi berdiri di depannya. Ia mengenakan kemeja putih polos dari balik jas hitamnya. Celana kain hitam dan sepatu pantofelnya yang klimis menambah aura macho-nya. Siapapun orang yang melihat penampilan pria ini pasti setuju dengan pendapat Endah. Sungguh elegan dan nampak berwibawa.

Pria itu tinggi sekali. Endah sampai harus mendongakkan kepalanya ke atas. Memandang siapa pria itu gerangan. Satu kata yang terbesit di otak Endah, ganteng. Rambutnya rapi dengan diberi gel pomade, wajahnya dihiasi dengan jambang yang cukup lebat. Giginya putih saat ia tersenyum.

“Maaf jika saya mengganggu. Saya ingin bertanya, apa benar ini rumah Bu Ainur?” tanyanya ramah.

“Iya, benar. Bapak siapa ya?”

“Perkenalan saya Sahid. Bolehkah saya bertemu dengan Bu Ainur dan apakah adik ini adalah anaknya beliau?”

Lihat selengkapnya