Suasana sekolah sudah ramai. Dipenuhi dengan murid kelas 12. Hari ini adala pengumuman berita kelulusan. Saatnya melepaskan sekelompok murid dan terjun ke dunia masyarakat. Siap atau tidak siap, yakin atau tidak yakin, para murid harus menerima hasil yang mereka tuangkan selama tiga tahun menempuh jenjang Sekolah Menengah Atas.
Atmosfer ketegangan memuncak mengitari para murid dan orang tua. Sedari pagi, guru disibukkan dengan pingsannya beberapa anak, direpotkan dengan ricuh ibu-ibu yang mengomel karena menunggu pengumuman begitu lama. Padahal sejam saja belum lewat. Mereka protes karena hendak cepat-cepat pergi ke pasar untuk berjualan kembali.
“Endah, kau kupanggil tak nengok-nengok kau! Lagi pikirin apa toh eneng satu ini?” Kak Sari datang menghampiri. Kalian masih ingat Kak Sari? Senior yang berhasil hidup dan kerja di kota besar yang namanya Jakarta. Yah, Kak Sari yang itu.
“Maaf kak, Endah gak mudeng toh. Lagi gugup gini, mana bisa konsen. Telinga nih bisa tiba-tiba budeg.”
“Yowes, gak apa-apa. Itu Mamakmu kecapean? Sampai nyenyak banget tidurnya. Kasihan tidur di kursi. Mau kakak bantu bawakan Mamakmu ke UKS?”
“Tadi juga sudah kubujuk Mamak, tapi ia menolak. Mamak bilang pasti UKS bau obat. Mamak kan tak suka cium bau obat, satu-satunya yang ia gemari adalah bau sirih. Kemarin rumah kebanjiran. Mamak dan Endha beberes. Semua barang toh basah. Kasur, sarung, buku-buku basah semua. Air di WC keluar semua. Jangan tanya ada apa aja yang keluar dari lubang di WC.”
“Iyo-iyo. Aku tahu lah. Jijik kali kalau aku tanya itu. Kau tak ada rencana renovasi rumah kau? Kau tahu kan Pemerintah sedang ada program meninggikan jalan, rumah-rumah kita yang rendah ini pasti jadinya makin rentan banjir. Yang biasa aja udah kelelep, apalagi ini. Makin amblas.”
“Dananya toh yang nggak ada. Mamak jualan pecel di pasar, sedangkan Endah cuman anak SMA bisa ngapain? Palingan bantu jualan pecel di pasar dan biasanya Endah jualin ke sekolah. Hasilnya untuk dipakai sehari-hari. Malah sering minus.”
“Yah, hidup di kampung yah gitu. Apalagi kalau kita gak punya tanah atau kebun yang bisa digarap. Jadinya gitu-gitu aja. Niat kau yang mau ke Jakarta gimana? Udah izin sama Mamak kau?”
“Belum. Jika Endah ungkit masalah itu. Mamak makin teringat Adek dan menangis lagi. Katanya udah ditinggal Adek, masa sekarang Endah mau tinggalin Mamak juga.”
“Yah, sebenarnya ini memang berat. Apalagi Mamak kau sendirian di rumah nanti.”
“Eh, ada Sari. Gimana kabarmu, nduk?” Mamak terbangun. Ia mengerjap-ngerjap matanya. Lalu, bangkit berdiri dari kursi plastiknya. Berdiri di samping Endah.
“Baik, bu.”
“Terakhir kamu ke Jakarta bukan ya? Udah balik? Gak betah yah disana?” Lagi-lagi Mamak mencari cara supaya Endah membatalkan niatnya untuk ke Jakarta.
“Minggu depan saya akan balik ke Jakarta lagi bu. Kemarin saya ajukan cuti, jadi bisa pulang nengok Bapak di rumah. Sekalian bawa oleh-oleh pesanan Bapak.”
“Masih mau balik ke Jakarta? Disana kamu nggak takut sendirian?”
“Nggak, bu. Di tempat saya bekerja ada disediakan penginapan. Jadi, aman. Ada teman-teman kantor yang juga tinggal disana.”
Endah menyikut lengan Kak Sari.
Kak bujuk Mamak. Minta Mamak izinin Endah ke Jakarta.
Kak Sari membalas pandangan Endah kemudian memandang Mamak kembali.
Aku usahakan ya, Ndah. Tapi kakak ya gak janji.
“Mak, di Jakarta itu kesempatan bekerja lebih banyak. Cocok untuk anak muda supaya lebih berkembang.”
Mamak menatap Kak Sari dengan penuh telisik. Dari atas sampai bawah.
“Tapi kamu yah makin berubah ya? Udah bukan Sari yang Ibu kenal. Kamu pakai apa di wajah?”
Endah spontan memandang ke Kak Sari. Mencari tahu apa yang dimaksud Mamak.