Endah tidak bisa tidur nyenyak dari semalam. Bukan karena nyamuk yang selalu menggodanya, bukan karena suara tikus yang berpesta di luar sana. Melainkan benda mati yang terletak di ujung kamarnya. Dekat lemari, namun berada lebih sedikit ke pojok, sudut ruangan. Ransel besar berwarna hitam terletak di atas sebuah kursi plastik.
Di dalamnya berisikan tiga set pakaian yang paling bagus dan ada satu set pakaian yang masih baru. Dibelinya tadi di pasar secara diam-diam. Satu set kemeja lengan panjang berwarna merah muda dan celana panjang kain hitam. Model pakaian pekerja kantoran yang sangat ia dambakan bahkan biasanya terbawa sampai ke alam mimpi. Dua set pakaian lainnya berupa kaos dan celana panjang berbahan katun.
Aku harus berangkat ke Jakarta.
Endah bangkit dari kasurnya. Mengambil sebuah pulpen dan kertas.
Mak, Endah minta maaf!
Endah nggak pamit langsung dengan Mamak.
Tapi tekad Endah sudah bulat.
Endah nggak mau hidup miskin Mak.
Kalau Mamak menemukan surat ini, berarti Endah sudah selamat sampai di Jakarta.
Endah akan hidup bahagia Mak. Aku harap Mamak juga bahagia disini.
Endah akan bekerja dan menikah dengan orang kaya.
Bisa beli perhiasan, mobil, dan baju-baju yang cantik.
Endah pamit ke Jakarta ya, Mak!
Endah akan pulang jika sudah sukses.
Endah janji!
Pukul 03:00.
Endah pergi ke rumah Kak Sari. Sebelum pergi, ia mampir melihat Mamak di kamarnya. Ia merapikan sarung yang agak berantakan. Menangkupnya ke atas badan Mamak, menutupi dari bahunya sampai ujung mata kaki.
“Endah pamit Mak!”
Ia mengambil tas hitam besar itu dan keluar rumah dengan sangat berhati-hati. Di dalam tasnya juga sudah ia masukkan satu toples penuh berisikan bumbu pecel Mamak. Jika sewaktu-waktu ia kangen Mamak, ia akan makan itu. Pasti.
Saat Endah sampai di rumah Kak Sari. Carter mobil mereka sudah datang. Carter mobil itu akan membawa mereka ke stasiun Purwokerto. Mereka akan naik kereta api dan akan sampai ke Jakarta setelahnya.
“Aku datang Jakarta!”