Rumah bambu sudah banyak berubah. Walaupun perabotan, tata letak, dan kenangan yang ada di dalam rumah ini masih sama, tetapi pelaku yang membuat perubahan itu terjadi adalah waktu. Talenan yang sudah rapuh, panci yang berkerak, sudip yang sudah tidak bergagang, atap rumah yang berlubang, sprei kamar yang sudah lusuh dan tipis, bahkan alat makan saja sudah banyak yang bengkok.
Endah melihat ke samping wastafel, dekat belakang rumah. Barang dagangan Mamak. Selalu ditaruh di tempat yang sama. Namun ada yang menarik perhatiannya. Sungguh berbeda dengan perabotan dan kondisi rumah yang dilihatnya.
Jika yang lainnya termakan oleh waktu, perlengkapan yang dipakai untuk dagangan Mamak masih sama persis dengan sepuluh tahun yang lalu. Piring, alat makan, baskom, keranjang, dan perabotan lain yang digunakan Mamak selama berjualan nampak sembilan puluh derajat lebih baik jika dibandingkan dengan kualitas barang pribadi Mamak.
Mereka semua terawat dengan baik. Mamak masih seperti dulu, mengutamakan orang lain dan tidak mempedulikan diri sendiri. Ia yakin jika perabotan itu tidak sama dengan sepuluh tahun yang lalu, jika rusak pasti akan dibeli baru oleh Mamak.
Mamak berdiri, menyenderkan lengannya di pintu belakang rumah sambil nyirih, matanya menatap kosong ke arah kebun Bu Asih.
Endah berjalan mendekat.
“Mak! Kenapa Mamak malah masuk ke dapur?”
“Mamak kira kamu pulang, nduk!” Mamak menjawab tanpa memandang Endah.
“Aku minta maaf tidak pernah mengunjungi Mamak. Aku takut. Jika aku pulang, Mamak akan menahanku pergi.”
“Nduk, kamu sudah banyak berubah. Endah yang Mamak kenal tidak pernah menggunakan kata aku, biasanya kamu akan bilang namamu sendiri. Mamak tidak mengenal dirimu yang sekarang.”
Mamak berjalan dengan sedikit tertatih. Ia duduk di kursi makan. Kursi buatan Endah. Kursi itu terdapat beberapa lilitan tambahan. Nampak sudah diperbaiki berkali-kali.
Endah berlutut di depan Mamak. “Mak! Ini hanya penggunaan kata, selama di Jakarta sungguh wajar menyebut diri sendiri dengan sebutan aku. Mak, aku mohon. Jangan mengalihkan pembicaraan.”
“Mamak capek. Mamak mau istirahat.”
Mamak berdiri dan lagi-lagi menepis lengan Endah. Niat Endah ingin membantu Mamak ditolak mentah-mentah. Ia tidak diizinkan untuk memapah Mamak.
Endah masih berlutut di tempat yang sama sampai Abdi berjalan ke dapur.
“Endah, kamu kenapa? Ibumu kemana?” Abdi menuntun Endah untuk berdiri dan duduk di kursi bambu terdekat. Lagi-lagi matanya menelisik seluruh keadaan dapur. Gelap. Kumuh. Hal terburuk di area dapur ini adalah, tidak memiliki lantai. Kakinya langsung menginjak tanah. Pikiran liarnya semakin menjadi-jadi. Ia takut jika kakinya akan menginjak cacing atau lebih buruknya ular akan melilit kakinya.
Sebenarnya, ia sudah akan kabur dari sana dan tinggal di hotel terdekat, tetapi ia urungkan niatnya itu. Hal itu bisa menjadi poin minus di depan calon mertua.
“Mamak tidak mau memaafkan aku. Sekarang Mamak sudah istirahat. Kita harus bagaimana? Aku harus bagaimana, Mas?”