Rangkaian bunga dan papan ucapan telah memenuhi bagian depan sebuah gedung besar. Gedung itu bernuansa serba putih-biru. Seluruh papan ucapan itu tercetak nama Abdi dan Endah. Alunan musik terdengar memenuhi ruangan besar itu. Mereka telah sah menjadi suami istri dan hari itu Endah mengalami dream wedding yang selama ini ia dambakan bahkan kemewahan acara seumur hidupnya sekali itu, melampaui ekspektasinya.
Setelah dua tahun menikah, mereka dikaruniai seorang anak laki-laki. Mereka memberinya dengan nama Rakan Adiwangsa.
Hidup mereka berjalan dengan normal. Namun, semenjak kehadiran Rakan. Endah memutuskan untuk meninggalkan pekerjaannya sebagai CFO dan fokus membesarkan Rakan. Sedangkan, Abdi memutuskan untuk membuka perusahaan agensi dan fokus untuk menjalani bisnisnya.
Mereka hidup dalam kemapanan. Segalanya ada. Rumah, mobil, dan Rakan disekolahkan di salah satu sekolah Internasional di kawasan Jakarta Utara. Endah merasa bersyukur, keputusannya dua belas tahun lalu untuk merantau ke Jakarta membuahkan hasil.
“Mas, akhir tahun kemarin kita kan sudah ke kampung Ibu, tahun ini kita ke tempat Mamak gimana? Soalnya aku kangen dengan pecel Mamak.” Endah mengulang-ngulang kalimatnya terus-menerus. Berbicara lirih. Ia ingin menyampaikan pernyataannya saat suaminya sudah pulang dari kegiatan dinasnya di Solo.
Perusahaan agensi Abdi semakin besar. Abdi semakin sibuk. Namun, Abdi tidak pernah absen mengajak dirinya dan Rakan untuk liburan dan menghabiskan waktu bersama.
“Endah, akhir tahun ini kita ke kampung ibuku ya. Aku sudah beli tiket ke Padang.” Abdi berjalan dengan girang masuk ke dalam rumah. Endah sedang duduk disana, melihat proses memasak chef di dapur.
“Tapi, Mas, aku …”
“Tenang. Akhir minggu ini kita belanja keperluan untuk persiapan kesana ya!”
“Asik, kita ke padang lagi. Rakan mau renang di kolam Nenek yang guedeeee itu ya, Ma!” Rakan berjingkrak-jingkrak. Ia memeluk Papanya dengan erat. Abdi mengusap-ngusap kepala anaknya.
Nggak apa-apa deh. Masih ada tahun depan. Jika dihitung, kami sudah pergi ke kampung Ibu sudah tiga kali. Setidaknya tahun depan ke rumah Mamak.
Rumah Ibu Abdi di Padang jauh lebih besar daripada rumah mereka. Rumah besar dua lantai. Dilengkapi dengan kolam renang, ruangan gym, sauna, tempat barbeque. Pekerja di rumah Ibu lebih lengkap jika dibandingkan dengan yang ia miliki, jika dirinya hanya memiliki chef pribadi, seorang tukang bersih, dan tukang kebun yang masing-masing seorang. Ibunya memiliki pekerja lebih dari dua orang untuk masing-masing profesi. Pekerja yang paling banyak adalah tukang bersih dan penjaga rumah.
“Ini bukan rumah. Ini istana.” Rakan membuat pernyataan dengan polosnya. Tiap kali mereka akan pulang ke Jakarta Rakan juga susah untuk diminta pulang. “Aku mau disini, Ma. Disini aku bisa main sepuasnya, tidak perlu sekolah.”
“Mas, tahun depan kita ke rumah Mamak ya!” Endah memberanikan diri. Mereka sedang dalam perjalanan pulang menuju Jakarta.
“Tahun depan aku tidak janji jika kita bisa liburan, perusahaan ada projek baru dan itu bisa saja memakan waktu satu sampai dua tahun ke depan. Kita lihat nanti ya!”
Endah bersabar. Ia harus menghormati keputusan suaminya. Ia ingin sekali memberanikan diri untuk pulang saja seorang diri, tetapi ia tidak ingin meninggalkan Rakan seorang diri.
“Kita kenapa nggak pernah ke rumah Nenek satunya? Mama ada nenek kan?” Suatu hari Rakan bertanya. Endah yang menemaninya belajar langsung menoleh.
“Rumah nenek jauh, Rakan. Rumahnya ada di daerah kampung. Butuh perjalanan seharian untuk kesana.”
“Aku suka petualangan. Kata guru di sekolah, walaupun di kampung tidak ada mall, tapi kita bisa bermain disana sepuasnya. Ada sungai, sawah, dan kalau main layang-layang tidak perlu khawatir akan tersangkut, karena di kampung punya lapangan yang sangat besar. Di kampung nenek begitu juga tidak?”
“Tentu. Rumah Nenek memiliki pekarangan yang sangat luas. Ada sungai, sawah, kebun, dan peternakan sapi.”