Sesuai janji mamanya, Rakan mengelilingi kampung dengan ditemani mamanya tanpa menaiki mobil. Menyusuri peternakan, sawah, dan pasar dengan berjalan kaki. Rakan tidak mau naik mobil. Ia bosan naik mobil. Ia ingin berjalan kaki saja.
“Ma, aku duduk di bebatuan sungai, boleh? Airnya segar.” Rakan sudah akan berlari ke arah sungai, tetapi Endah langsung menarik tangannya dengan pelan.
Endah mematung sesaat melihat ke sungai dan kemudian menundukkan kepalanya. Menautkan pandangannya ke Rakan. “Airnya sangat deras dan kita nggak bawa baju ganti. Kamu nanti akan basah dan kedinginan. Nanti kamu sakit. Main yang lain aja ya!”
“Mama pelit. Kan di Jakarta nggak ada sungai. Aku mau duduk disana. Bentar aja. Paling basah dikit doang. Please.”
“Rakan, please dengerin Mama. Air sungai itu deras. Jangan main kesana ya. Kita ke jembatan sungai aja gimana? Itu yang disana.” Endah menunjuk-nunjuk jembatan yang ada di sebelah kanan. Tidak jauh dari tempat mereka berdiri.
“Aku mau pulang aja. Mana Pak Sapri? Aku mau pulang naik mobil. Aku pegal.” Rakan ngambek.
Endah mengambil gawainya di saku belakang celananya. Diliriknya jam digital yang ada di layar. Pukul 13.10. Sudah lewat jam makan siang. Memang sebaiknya mereka pulang saja.
Mereka sampai di rumah Mamak tak lebih dari dua puluh menit. Rakan langsung berlari menuju kamar mandi. Ia kebelet kencing.
“Mamak goreng ayam?” Endah mengernyitkan keningnya. Makanan yang tersaji di atas meja makan berbeda daripada biasanya.
“Iya, kemarin cucuku pesan. Mau ayam goreng, seperti acara nikahan Wati kemarin.”
Endah masuk ke dalam kamarnya. Lalu, keluar dengan sebuah amplop putih di tangannya.
“Mak, ini ada sedikit uang untuk Mamak. Semoga cukup dengan kebutuhan sehari-hari ya.”
“Uangnya kamu simpan saja. Uang Mamak masih cukup.”
“Tidak apa-apa, Mak!”
Mamak berjalan ke tempat menanak nasi. Menyendok nasi disana.