Hari-hari berjalan dengan normal. Keluarga kecil yang dimilikinya sudah sesuai dengan impiannya selama ini. Ia bersyukur pernah bertemu dengan Abdi dan menerima lamarannya. Abdi dapat memenuhi kebutuhannya sesuai dengan janji pernikahan mereka. Namun, setiap akhir tahun pasti selalu yang menjadi puncak kegalauan baginya. Abdi, suaminya selalu mencari alasan jika berkaitan dengan Mamak.
“Kita ke rumah Ibu dulu ya. Tahun ini kita harus hadir. Lagian Rakan lebih suka ke rumah Ibu.”
Endah tidak bisa membantah. Apalagi tahun ini Ibu rela jauh-jauh ke Jakarta, meminta secara langsung supaya mereka tidak melewatkan acara tahun ini.
Dari tahun ke tahun berjalan tanpa terasa, Rakan telah duduk di bangku kelas 3 SD. Perusahaan agensi milik Abdi juga semakin besar. Abdi sering dinas ke luar kota. Rakan sekolah dan setelah pulang sekolah ada seabrek kegiatan lainnya, seperti kursus, ekstrakulikuler, dan jadwal lainnya.
Endah ingin sekali kembali bekerja. Rakan juga sudah bersekolah dan sudah lebih besar. Ia juga sudah mandiri. Tetapi posisi kerjanya di perusahaan lama tempat ia bekerja sudah ditempati oleh orang lain dan atasan tidak mungkin juga menerimanya kembali. Ia sudah tidak bekerja selama kurang lebih sepuluh tahun.
Suatu hari, tanpa ada angin dan hujan. Saat Endah sedang memanggang kue coklat kesukaan Rakan. Abdi berjalan dengan lesu. Ia melemparkan jasnya secara serampangan ke sofa ruang tamu. Menuju ke dapur, mengambil segelas air, dan meneguknya dalam sekali teguk.
Endah tidak memperhatikan dengan seksama. Ia tahu jika suaminya sudah pulang, namun kuenya yang hampir matang mengambil seluruh daya konsentrasinya.
“Tahun ini kita ke rumah Mamak.” Abdi membuka suara.
Setelah mengeluarkan kue cokelat dari oven. Aroma keharuman cokelat memenuhi seisi dapur. Abdi sudah akan mencubit kue itu jika saja Endah tidak memukul tangannya.
“Kenapa tiba-tiba, mas? Tidak ke rumah Ibu?”
“Bukannya itu impian kamu? Kenapa sekarang malah protes?”
“Bukannya begitu, mas. Tetapi tumben saja. Memangnya Ibu tidak apa-apa jika kita tahun ini tidak ke rumahnya?”
“Tentu saja. Aku sudah menghubunginya dan dia mengerti.”
“Aku nggak mau di kampung. Aku mau pulang ke Jakarta. Aku nggak mau ada di rumah Nenek,” protes Rakan merengek minta pulang. Ia dibawa dalam keadaan tidur tadi pagi. Sepanjang perjalanan ia sempat terbangun, namun ia tidak tahu jika dia dalam perjalanan meninggalkan kota Jakarta untuk bermalam di Majatengah, Jawa Barat. “Kenapa kita tidak ke rumah Nenek Wati saja sih?”
Mereka sampai di rumah Mamak pukul empat sore. Sengaja mengambil pesawat dengan jadwal penerbangan paling pagi, supaya tidak seperti sebelumnya, tiba di rumah Mamak saat malam hari. Abdi masih menganggap hal itu kenangan buruk baginya.
“Rakan, sudah lama kita tidak pernah mengunjungi Nenek Ainur. Nenek juga tinggal sendirian disini. Pasti beliau kesepian. Tapi, jika ada kamu, Nenek jadi senang.”
“Tapi, aku nggak mau ketemu hantu.”
Abdi yang berdiri di samping Endah mengernyitkan dahinya kemudian mengangguk-angguk.
Pantas saja rumah ini terlihat suram. Seandainya Ibu tidak menegurku. Sudah pasti aku tidak akan mengunjungi Mamak. Bukannya tidak menghormati yang tua, tetapi aku tidak betah tinggal di kawasan kumuh seperti ini.
“Rakan, dengarkan kata mamamu. Nenek pasti butuh teman untuk bicara. Dan kalau kamu takut hantu, bagaimana kalau kita tinggal di hotel dekat sini?” Abdi mendapatkan ide cemerlang dan iya sudah sangat tahu pasti anak semata wayangnya akan setuju dengan pemikirannya itu.
Endah reflek menoleh ke suaminya. Kini ia yang mengernyitkan dahi.
“Asyik. Tidur di hotel!”
Endah menarik Abdi menjauh dari rumah Mamak saat Mamak sudah membukakan pintu. Rakan langsung memeluk Nenek dan mereka masuk ke dalam rumah terlebih dahulu.
“Mas, kenapa kita malah nginap di hotel? Tujuan kita kesini kan mengunjungi Mamak.”
“Kamu dengar sendiri bukan, apa kata Rakan? Ia tidak mau melihat hantu. Kamu mau mencetak trauma lagi di dalam benaknya. Kasihan loh anak seumuran dia sudah mengalami trauma.”
“Aku yakin Rakan hanya salah lihat. Lagipun dia hanya lihat sekali. Rumah Mamak gelap saat malam hari, wajar jika Rakan bisa salah lihat.”
“Jadi kamu mau bilang kalau anak kita berbohong?”