Pukul 14.00. Matahari bersinar sangat terang. Siapapun yang memutuskan untuk keluar rumah, akan kepanasan dan kulit terasa akan ditusuk-tusuk. Terbakar. Terdengar beberapa kicauan anak burung dari sarangnya. Merengek minta jatah makan dari induknya. Begitu juga Rakan merengek minta pulang.
Terpaksa Endah menyetujui keputusan Abdi. Mereka akan pulang ke Jakarta. Semilir angin terasa menghampiri Endah saat ia melipat baju Rakan. Ia melipat baju di kamarnya, sedangkan Rakan masih asyik bermain mobil-mobilan di sana, duduk di lantai. Suaminya keluar, katanya ingin merokok sebentar.
Mamak menyiapkan bumbu pecel untuk dibawa pulang ke Jakarta. Sedari pagi, Mamak tidak berbicara satu kata pun. Ia terus-terusan berada di dapur. Padahal biasanya jika ada Rakan, Mamak akan nampak lebih ceria. Namun semenjak kedatangan mereka dari semalam, Mamak hanya mengucapkan sepatah dua kata. Endah yakin Mamak pasti marah kepadanya. Namun, apa dikata, nasi sudah menjadi bubur. Rakan merengek minta pulang. Abdi ada rapat penting di Jakarta. Endah yang hanya sebagai istri dan ibu rumah tangga hanya bisa mengikuti keputusan kepala keluarga.
Ia terlalu membawa beban di pikiran dan di dalam hatinya, sampai awan keabuan yang mulai menutup matahari pun datang. Ia masih belum tahu.
“Permisi!” Seseorang mengetuk dan mengucap salam.
Tidak ada yang menjawab. Sang tamu menggaruk bagian belakang kepalanya yang tidak gatal. Kemudian kembali mengucap salam dengan sedikit lebih lantang, “Permisi, saya Lastri. Apakah ada orang?”
“Iya?” Endah keluar kamar dan berjalan menuju pintu depan. Ekspresi muka datarnya berubah menjadi sumringah saat mengenal siapa yang sedang bertamu. “Lastri? Anaknya Bu Asih?”
“Iya, kau benar. Sudah lama aku tidak jumpa dengan kau. Gimana kabarmu?”
“Baik, kamu gimana? Ayo, duduk dulu di dalam.” Endah mempersilakan Lastri masuk ke ruang tamu.
Lastri menggeleng.
“Aku duduk disini saja ya,” ujarnya sambil menunjuk gazebo bambu depan rumah. “Badanku kotor, habis panen di kebun. Oh ya, ini ada ubi. Gemuk-gemuk loh ini, Mamak kau pasti suka. Kau juga suka kan?”
“Wah, repot-repot ini. Aku malah nggak bawa buah tangan untuk kamu,” jawabnya sembari menyusul Lastri duduk di gazebo.
“Tidak apa-apa. Wong Jakarta tidak apa-apa. Hanya ada roti-rotian. Aku gak demen. Enakan ubi. Gratis lagi,” balasnya sambil tertawa. Gelak tawanya keras.
“Kamu gimana kabarnya?”
“Yah, begitulah. Jadi ibu dari tiga anak pusing. Kau tahu tidak? Tiap hari kerjaanku ngomel mulu. Heran punya anak laki, susah banget diurus. Anak kau masih kecil, masih gampang diatur.”
“Namanya anak sudah besar. Nanti aku juga pasti akan begitu ya. Tinggal menunggu waktu saja. Eh, tunggu. Bukannya kamu hanya ada dua anak? Wah bertambah lagi rupanya ya.”
“Yah, tiap hari kerjaan kami kan bercocok tanam,” Ia melirik sebentar. “Di kebun. Jangan pikir-pikir yang aneh kau,” Ia tertawa lagi. Seekor burung nampak yang bertengger di tiang dekat situ terbang menjauh. “ Eh, mana suamimu? Dari kemarin aku gak nampak batang hidungnya?”
“Ada kok. Tadi dia ada disini. Mungkin sedang keliling kampung.”
“Enak ya kau sekarang. Kawin sama orang kaya.” Ia menunjuk dan melihat ke arah mobil Fortuner yang terparkir di depan rumah Mamak. “Coba kau lihat punyaku.” Kini ia menunjuk dan memandangi dua ekor kambingnya yang terikat di pagar.