“Bu, selamat siang! Saya wali kelas Rakan. Rakan badannya panas. Dia minta pulang. bu. Apakah ibu bisa datang ke sekolah untuk menjemputnya?”
“Apakah badannya panas sekali, miss?” tanyanya gelisah.
Raket bulu tangkis yang ia genggam segera ia simpan ke dalam tas, sedang gawainya dijepit antara pundak dan telinga.
“Suhu badannya 40 derajat, bu! Apakah Rakan ada alergi obat parasetamol bu? Karena jika tidak, akan kami berikan sirup demam yang tersedia di klinik sekolah.”
“Berikan saja, miss. Anak saya tidak ada alergi obat. Saya segera menuju ke sekolah ya, miss.”
“Baik, bu. Hati-hati di jalan!”
Ia segera mengemasi peralatan bulu tangkisnya. Berpamitan dengan beberapa temannya yang sedang istirahat. Kemudian segera berjalan keluar gedung dan menuju mobilnya.
“Eh, itu istrinya Abdi bukan sih?”
“Siapa itu Abdi?”
“Itu loh, crazy rich Jakarta yang suka main cewek-cewek di agensinya. Alibinya aja buat para cewek-cewek itu terkenal. Aslinya mah dipakai sama dia.”
“Iih, masa sih? Tapi memang wajar sih. Cewek-cewek itu kan masih gadis dan cantik ya. Nggak kayak istrinya. Cupu gitu. Pendek lagi. Mana ada suami yang betah punya istri yang tidak bahenol. Lurus kayak tiang.”
Gelak tawa yang menggelegar memenuhi tempat parkir itu. Endah sengaja tidak memandangi mereka. Ia hanya bisa menggenggam dengan keras pegangan pintu mobilnya. Ia melihat segerombolan ibu-ibu itu di balik kaca spion. Matanya mengikuti mereka sampai mereka benar-benar pergi dari sana dan masuk ke dalam gedung.
Ia mengusap pipinya dari air mata yang ia tak ketahui sudah berapa lama ada disana. Masuk ke dalam mobil dan menatap wajahnya lewat kaca spion depan. Barang bawaannya dilemparkan asal ke jok samping.
“Endah kamu harus kuat dan kamu harus percaya dengan suamimu. Mas Abdi tidak mungkin melakukan itu. Ia sangat mencintaiku dan Rakan. Kita akan baik-baik saja.”
Gawainya berdering lagi.
“Halo!” suaranya parau.
“Bu, maaf mengganggu. Sekarang Rakan muntah-muntah bu. Apakah kami diizinkan untuk membawanya ke rumah sakit bu?”
Endah mengatupkan mulutnya dengan tangan kanannya. Air matanya semakin menjadi-jadi. Baru saja jantungnya ditusuk-tusuk oleh pernyataan tajam ibu-ibu tadi. Sekarang keadaan anak semata wayangnya yang tiba-tiba saja sakit.
“Boleh, miss. Silakan bawa Rakan ke rumah sakit. Saya minta tolong sampaikan ke dokter periksa dengan seksama. Beri penanganan yang terbaik, miss. Berapapun biayanya saya akan bayar. Saya minta tolong, miss!”
“Baik, bu. Pasti akan kami beri pelayanan yang terbaik. Kami akan menuju ke Rumah Sakit Pantai Indah Kapuk, bu”
“Terima kasih, miss. Saya dalam perjalanan ke rumah sakit ya!”