Seorang perempuan berambut coklat bergelombang mengerjapkan matanya berulang kali. Cahaya matahari yang masuk lewat jendela menusuk ke pelupuk matanya. Ia beringsut ke kiri dan ke kanan. Tangan kirinya mencari keberadaan selimut. Setelah ia temukan, dengan cepat ia menaikkannya sampai menutupi dadanya. Dinginnya pendingin udara membuat seluruh badannya terasa dingin.
“Yah, kenapa ditutup sih sayang? Kan aku masih mau menikmatinya,” bisik seorang pria. Telinganya terasa geli karena uap panas dari mulut si pria. Ia memutar badannya ke samping kiri. Mengerjap-ngerjap matanya berkali-kali, kemudian menautkan pandangannya kepada si pria.
Matanya menelusuri tubuh pria itu. Tidak ada satu helai benang pun di tubuhnya. Bahkan tubuhnya tidak ditutupi selimut. Tangannya reflek mengusap dada bidangnya, perut sixpack, dan terus menelusuri ke bagian bawah perut. Namun, tangannya terhenti saat tangan pria itu menggenggamnya.
“Pagi-pagi kamu sudah nakal, ya!” Pria itu menyentil lembut hidungnya pelan.
“Kamu yang buat gara-gara. Kenapa kamu tidak pakai selimut?”
“Siapa yang tarik selimut tadi?”
“Aku,”jawabnya tersipu.
Pria itu membalas dengan tersenyum, kemudian bangun dari tempat tidur.
“Eh, kamu mau kemana?” tanyanya manja. Tubuhnya beringsut. Pelan-pelan ia mengambil posisi duduk sembari tangannya masih menahan selimut untuk menutupi seluruh badannya.
“Pagi ini aku ada rapat dan Papa kamu bilang aku harus hadir atau ia akan menarik sahamnya.” Ia mengambil jubah mandi yang tergeletak asal di sofa, kemudian mengenakannya.
“Bukannya kamu udah janji hari ini mau temanin aku jalan-jalan?”
“Yah harusnya sih begitu, tapi ini rapat penting. Mau gimana lagi? Sebenarnya aku juga malas,” keluhnya. Ia berjalan beberapa langkah. Mengambil teko listrik. “Kamu mau kopi, sayang?” tanyanya dengan memutarkan kepalanya ke belakang.
“Tidak. Suasana hariku memburuk. Kamu tidak menepati janji.”
“Sayang,” Pria itu berjalan mendekatinya. Duduk di tepi tempat tidur, kemudian memegang tangannya. “Seandainya rapat ini bisa ditunda, aku akan tunda demi kamu, tapi aku tidak bisa bukan?”
Tiba-tiba, ia mendapatkan ide. Ia duduk tegak dan mengambil tas kecil selempang yang ia taruh di atas rak kecil, samping tempat tidur. Mengambil gawai, menyentuh angka dua di papan nomor telepon. “Pa, Abdi gak perlu ikut rapat hari ini bisa kan? Aku mau jalan-jalan sama dia … Iih, Papa jahat. Kan Papa orang penting, bisa lah atur kayak gitu … Papa mau aku sedih? Emang Papa tega? … Nggak mau. Aku maunya Abdi temanin aku seharian. Titik. … Nah, gitu dong! Terima kasih papaku sayang! Muach,” serunya dengan muka berseri-seri.
“Apa yang kamu lakukan, sayang?”
Ia memajukan badannya ke depan. Ia melingkarkan kedua lengannya ke pundak pria itu, dari arah belakang. Perlahan, selimut yang menutupi badannya terjatuh. Ia tempelkan bagian dadanya ke punggung pria itu. Terasa hangat dan menghasilkan getaran setrum sampai ke otaknya.
“Kamu tidak perlu menghadiri rapat gak penting itu. Jadinya, hari ini kamu milik aku ….”