“Papa gak ada di rumah, masa Mama mau pergi juga. Aku nggak mau Mama pergi. Aku nggak mau sendirian,” rengek Rakan. Ia menangis sejadi-jadinya. Terbatuk-batuk dan terus-terusan berusaha menelan ludah. Padahal kering. Ludahnya sedikit.
“Rakan, Mama cuman sebentar kok. Kamu mau kan Papa cepat pulang ke rumah? Nah, Mama nyusul Papa kesana untuk jemput Papa pulang. Izinkan Mama ya?” Endah melipat kedua kakinya. Lututnya digunakan untuk menopang berat tubuhnya, supaya sejajar dengan tinggi anaknya.
“Nggak. Kan Mama bisa telepon Papa aja. Biasanya juga gitu. Nggak pakai susul-susulan segala, atau kalau Mama mau kesana, aku ikut.”
“Rakan, please. Mama minta tolong sama kamu. Kamu disini saja, ada suster yang jagain kamu. Mama cuman pergi sebentar aja. Mama janji, bakal bawa pulang makanan ringan favorit kamu. Keripik Tteokbokki. Mama akan belikan banyak buat kamu.”
“Nggak. Aku nggak bisa dihasut.”
“Mm, ya udah deh. Gimana kalau Mama tambah keripik Jajangmyeon? Rasa mie saus kacang hitam, aduh baru mikirin aja Mama sampai ngiler. Kamu ngiler nggak?”
Rakan melipat kedua tangan di depan dadanya. Ia menggeser tubuhnya, membelakangi mamanya.
“Yakin nggak mau?”
“Oke, tapi janji jangan lama-lama dan janji bawain snack yang banyak untukku.” Rakan memutarkan badannya dengan cepat. Ia mengacungkan jari kelingkingnya. Endah menyambut dengan menautkan jari kelingkingnya pada jemari kecil anaknya itu.
“Mama janji.”
Penerbangan malam sudah tidak tersedia, terpaksa Endah memesan tiket untuk besok pagi pukul 06.50. Penerbangan dimulai dari bandara Internasional Soekarno Hatta. Tiba di Hongkong pukul 12.35 untuk transit, pada pukul 16.45 terbang ke Seoul, dan tiba di Bandara Internasional Incheon pada pukul 21.35.
Hanya sedikit orang yang mengetahui jika ia menyusul Abdi ke Negeri Ginseng ini. Hanya Rakan dan pembantu di rumah saja yang tahu. Siapa lagi ia dapat mengutarakan kegelisahannya? Mamak selalu menolak jika ditawari gawai. Ia kehilangan kontak Kak Sari. Teman-teman kantornya dulu? Tidak bisa diharapkan. Ia anti menceritakan dapur rumah tangganya sendiri pada orang lain.
“Seonsaengnim dangjang losdehotel-wouldeulo gaseyo. Gamsahabnida.”
Pak, tolong antarkan saya ke Lotte Hotel World. Terima kasih.
***
“Sayang, terima kasih yah sudah temani aku belanja. Aku senang banget!” Aresa menggandeng lengan Abdi yang berjalan seiring dengannya. Tangan Abdi, dua-duanya, menenteng barang belanjaan anak wanita konglomerat itu. Seandainya ia tidak harus menemaninya berbelanja, sekarang ia sudah akan menikmati spa di hotel bintang lima itu. Dirinya sudah memiliki harta segudang. Namun, hartanya masih bergantung dengan ayah dari Aresa.
“Sayang, kita kan udah belanja nih. Kita juga udah kelilingi mall ini sebanyak tiga kali. Sekarang kita balik ke hotel?”
“Iih, cepat banget. Kamu nggak seru deh. Waktu juga belum malam loh ini.” Aresa menyeruput soda berwarna merah, sehingga saat ia tersenyum, giginya nampak memerah. “Lagian, kita kan malam ini mau pesta lagi. Kamu lupa?” Tangannya menyentuh dan mencubit salah satu pentil Abdi. Abdi meringis.