Endah dan Rakan berangkat pagi-pagi buta. Sempat ada drama, Rakan yang masih saja merengek. Ia tetap enggan untuk ke rumah Nenek. Endah segera mengambil tas ransel dan tas jinjing, berjalan ke luar rumah. Mau tidak mau Rakan berlari mengejar Mamak.
Setelah mengembalikan kunci kontrakan, mereka menaiki angkutan umum. Menuju stasiun kereta. Kali ini Endah memberikan ruang kepada Rakan untuk duduk di belakang sopir, sehingga Rakan tidak perlu bersinggungan dengan penumpang lain. Sesekali Rakan merasa mual dan ingin muntah. Namun, hanya muntahan udara. Tidak ada yang keluar dari lambungnya. Rakan menolak untuk menikmati sarapan. Resikonya ditanggung sendiri.
Sesampainya di stasiun kereta Purwokerto, Endah mampir ke sebuah warung. Ada tiga pilihan makanan berat, nasi uduk, nasi kuning, dan nasi goreng kampung. Rakan menunjuk gambar sepiring nasi goreng kampung dengan di atasnya ada kerupuk sebesar kepalan tangannya bahkan lebih. Rakan tidak sabar. Perutnya sudah keroncongan dari tadi. Cacing di perutnya sudah melantunkan orkestra yang merdu.
“Bu, nasi goreng satu porsi ya!”
Saat nasi gorengnya tiba, ekspresinya berubah. Ia melihat sepiring nasi goreng yang ada di depannya ini dan kemudian menoleh ke gambar nasi goreng di spanduk. Ia menoleh sebanyak dua kali.
“Ma, kenapa tidak sesuai gambar? Dasar ibu penipu,”
“Eh, kenapa dengan nasi gorengnya? Nasi gorengnya nampak lezat kok!”
“Tidak ada kerupuknya.”
Endah tersenyum. Melihat reaksi Rakan yang cemberut hanya karena tidak ada kerupuk. “Bu, kerupuk satu ya!”
Setelah kerupuk datang, Rakan makan dengan lahap. Cacing-cacing di perutnya sudah tidak bisa berpesta ria. Nasinya sudah habis setengah dan ia baru menyadari mamanya tidak makan.
“Ma, Mama tidak makan? Ini enak loh!”
“Mama masih kenyang.”
Mak, ini kah rasa kenyang yang kamu maksud? Rasa lapar diri sendiri seolah tidak penting. Mamak rela menahan nyeri di perut hanya supaya melihat anakmu makan dengan lahap dan kenyang. Pelan-pelan aku mulai memahami perasaanmu, Mak.
Kereta mereka datang setelah mereka menunggu selama kurang lebih setengah jam, lalu kemudian dilanjutkan dengan mobil charter menuju Majatengah. Rakan tertidur pulas. Ia kecapekan.
Mereka sampai di rumah Mamak sekitar pukul 06.00. Mamak keluar menenteng dagangan pecel. Berhenti berjalan menjauhi rumah saat melihat anak gadisnya dan cucu kesayangannya berjalan menghampirinya.
“Kalian mampir sepagi ini?” Mamak bertanya bingung. Dengan gerakan pelan ia melonggarkan ikatan selendang di pinggangnya, menurunkan keranjang dari punggungnya.