“Aku nggak mau Ma. Aku nggak mau Mama tinggalin aku sendirian.” Rakan menahan mamanya. Kedua tangannya menggenggam lengan mamanya erat-erat. Tinggal selangkah lagi Endah hampir melangkahkan kakinya keluar. Tas ranselnya sudah ditaruhnya di gazebo.
Mamak mencoba mengambil tangan Rakan, tetapi Rakan menepisnya.
Endah mengambil posisi berlutut, berlutut di depan anaknya dalam posisi tegap.
“Kamu tinggal sama Nenek dulu ya. Bantu Nenek jika Nenek sedang kesusahan dan jangan takut dengan Nenek. Kamu boleh cerita apa aja ke Nenek. Berbaur dengan teman-teman lain disini juga boleh. Mama akan jemput kamu lagi ya.” Endah menepuk kepala Rakan dengan pelan dan kemudian mengelusnya.
“Mak, nitip Rakan ya! Maafkan Endah harus pergi dan terima kasih, Mak!”
Mobil charter telah sampai. Endah memeluk Rakan yang masih menangis terisak. Saat genggaman tangan Rakan melemah, Endah segera berlari cepat menuju mobil charter. Melambai sampai mobil berbelok di ujung jalan.
“Rakan jangan nangis. Ada Nenek yang jagain.” Mamak menenangkan.
Biar gampang Mamak akan diganti dengan sebutan Nenek Ainur atau disingkat Nenek, karena begitulah namanya.
“Nenek jahat. Tidak membantu Rakan menahan Mama untuk tidak pergi. Aku benci Nenek.”
Rakan berlari masuk ke dalam kamar. Seandainya kamar itu ada pintu, pasti akan terdengar suara gedemum yang menyentak siapa pun yang mendengarnya. Emosinya akan sedikit reda jika ia bisa melampiaskan pada pintu untuk sesaat, tapi ini hanya ada kain yang dijadikan penutup kamar. Rakan menangis.
Bantalnya basah hanya dalam waktu beberapa menit. Bau apek di kasurnya juga sudah bukan penghalang baginya untuk meninggalkan jejak upil dan air matanya disana. Ia tidak peduli. Toh, sesuatu yang bau tidak bisa kembali wangi, itu menurutnya.
“Le, makanan sudah ada di meja. Makan sebelum dingin.” Nenek Ainur masuk ke dalam kamar Endah yang untuk sementara waktu menjadi kamar cucunya. Ia masuk dengan langkah pelan, terkadang pincang. Punggung kakinya sedikit bengkak, dari empat bulan yang lalu.
“Aku nggak mau makan sampai Mama jemput aku!” Ia bersungut-sungut. Kakinya dihentakkan bergantian di atas kasur. Sakit. Kasurnya tidak empuk seperti di rumah mereka sebelumnya, saat masih tinggal dengan Papa.
Nenek menghentikan hentakan kakinya dengan memegangi lembut pada kakinya. “Le, ibumu pasti akan menjemputmu. Tidak baik saat ibumu jemput dan kamu saat itu kurus sekali. Ibumu pasti akan bersedih jika melihat anaknya bersedih. Nenek janji akan menjagamu dan tidak akan ada hal buruk yang terjadi.”
Rakan mengambil posisi duduk. Kedua kakinya dilipat bersila.
“Kita makan apa, nek?”
“Makan pecel.”