Rakan tak kuasa menahan sengatan matahari yang menusuk setiap pori-pori di badannya. Padahal dirinya mengenakan baju dan celana pendek yang cukup tebal, tapi matahari seakan tetap bisa menembusnya. Setiap kali ia melangkah di atas tanah, kaki juga terasa panas. Seolah-olah ia tidak mengenakan alas kaki. Matahari panas, udara panas, tanah panas, dan tidak ada hembusan angin.
Sesampainya di rumah, ia mengusap peluhnya dengan baju bagian bawah. Bibirnya kering dan kerongkongannya terasa sakit saat menelan ludah. Kering. Ia mencari keberadaan gelas di meja dapur, menuangkan teko air ke dalam gelas, menenggaknya sebanyak tiga kali, tiga gelas.
Ia mengibas-ngibas tangannya. Hanya ada udara sedikit yang dihasilkan. Baru kali ini ia merasakan panas yang terlampau panas. Biasanya di rumah Papa, ia bahkan tidak tahu keadaan di luar sana, sedang hujan atau panas. Alat pendingin di kamarnya selalu dalam keadaan nyala saat ia ada di dalam kamarnya. Hanya akan dimatikan saat dirinya ke sekolah.
Rakan masuk ke dalam kamarnya, ingin kembali bermain. Ada yang aneh pada mainan-mainannya yang tergeletak di lantai. Dihitungnya satu-satu. Kereta, truk, motor, dan ….
“Mobil mainan pemberian Ayah kemana?”
Ia menangis sejadi-jadinya. Tangisannya keras, sampai Bu Leila yang memasak di dapur mendengar suara tangisannya. Bu Leila segera berlari ke rumah Bu Ainur sembari masih menggendong bayinya yang masih kecil.
“Adek kamu kenapa? Kenapa kamu menangis?” Bu Leila bertanya dengan nada khawatir.
“Mainan aku hilang. Pasti dicuri.”
“Tadi ada orang yang masuk kesini?”
“Tidak tahu, bu. Aku hanya tinggal sebentar keluar dan saat aku pulang, mainan mobilku sudah hilang.” Tangisannya sudah tidak separah tadi. Tapi, tubuhnya masih berguncang hebat.
“Ya udah, Ibu bantu kamu cari ya!”
Bu Leila masuk ke dalam kamar. Mengedarkan matanya kepada setiap sudut lantai. Satu dua kali ia membongkar keranjang mainan Rakan. Kali aja Rakan lupa. Tetap tidak ada. Rakan juga mencari. Namun, sama saja nihil.
Bu Leila keluar kamar, matanya tetap menatap awas ke setiap lantai, meja, dan kursi. Saat matanya memandang ke luar rumah, matanya menangkap anak laki-laki keduanya sedang berjalan menuju rumah.
“Ari, kesini dulu sebentar!”
“Kamu bantuin Adek cariin mobil mainan, ya. Hilang katanya. Mamak lagi masak, gak bisa tinggal lama-lama.”
Ari menggangguk. Ia meletakkan kapaknya di luar rumah. Ia baru saja pulang dari mencari kayu bakar.
“Terakhir kamu taruh kemana, dek?” Kini ia bantu mencari. Berjalan sambil menundukkan kepalanya.
“Tadi ada di kamar, lalu sekarang hilang.”
Ari mengitari seluruh ruangan rumah. Tidak ditemukannya mobil mainan itu. Padahal jika sesuai petunjuk dari tangan Rakan, ukuran mobilnya cukup besar. Tidak mungkin bisa tersangkut di lubang kecil atau terjatuh ke lubang WC.
“Nggak ketemu, dek!”
“Kenapa bisa? Emang di kampung sini banyak pencuri ya?”
“Kampung sini mah aman, dek. Hanya ada satu alasan nih.”