Pagi hari berjalan seperti biasa. Nenek menyiapkan dagangan pecel. Rakan bangun lebih awal, sehingga bisa membantu Nenek. Suasana hatinya kini lebih girang.
“Kamu nampak senang, Le.”
“Iya, Nek. Rakan dapat teman baru. Nanti dia main kesini ya. Main mobil-mobilan bareng aku. Boleh kan Nek?” tanyanya sumringah.
“Boleh toh Le. Baguslah kamu udah dapat teman. Kalau kamu dan temanmu lapar, kalian bisa makan pecel di atas meja makan ya!”
“Nggak ah. Pecel nggak enak. Aku nggak mau makan daun.”
“Bukan daun, Le. Sayur.”
“Sama aja. Sama-sama hijau.”
Nenek tidak marah sekalipun pada Rakan. Dari awal kedatangannya sampai sekarang, Rakan belum pernah melihat Nenek marah-marah. Berbeda dengan Nenek Wati, Ibu dari papanya. Kerjaannya ngomel mulu.
Nenek bisa berangkat lebih pagi karena Rakan membantu menyiapkan barang dagangan. Maklum mata Nenek sudah tidak awas seperti dulu dan gerakannya tidak seluwes saat ia masih muda. Rakan yang masih kecil, gerakannya gesit dan cepat.
“Rakan!” Idhang tiba-tiba saja sudah berdiri di depan pintu masuk rumah. Rakan yang masih di dalam kamar, menengok siapa yang memanggilnya.
“Idhang! Ayo, masuk!” serunya gembira.
Ia menarik keranjang mainannya. Bentuknya besar dan lebar. Idhang membantu dengan mendorong keranjang itu dari belakang.
“Wah, mainan kamu banyak banget, Rakan! Aku iri.”
“Kamu boleh main dengan sepuasnya, tapi dengan satu syarat.” Ia mengacungkan jari telunjuknya ke depan.
“Apa?”
“Jangan mencuri lagi!”
Idhang tersenyum lebar. Ia menampakkan giginya yang rapi dan kinclong.
Dua jam mereka bermain bersama-sama. Robot-robotan, mobil-mobilan, petak umpet, dan bermain menyusun puzzle.
“Aku bosan ah. Gimana kalau kita keliling kampung aja? Aku belum mengenal kampung ini.”
“Boleh.” Lagi-lagi Idhang menjawab dengan singkat, padat, dan jelas.
Idhang memang tak bisa berkata banyak atau irit ngomong ya? Ngomong kan gak harus keluar duit.
Kini persiapannya lebih matang. Ia mengenakan celana panjang dan baju lengan panjang. Namun, alas kaki tetap mengenakan sandal. Ia tidak bisa mengenakan sepatunya, atau sepatunya akan susah dicuci karena terkena tanah atau lumpur becek.
Keadaan kampung lagi-lagi, sepi. Hanya ada beberapa petani dan pedagang yang bolak-balik. Tak ada anak kecil seusia dirinya. Anak remaja, banyak.