Rakan melipat kedua kakinya, kakinya menyilang duduk di atas gazebo. Sesekali asap dari obat nyamuk bakar menggelitik hidungnya, sering kali menusuk. Ia terbatuk kecil sesekali. Bunyi cacing dan jangkrik kian membesar. Suaranya saling menimpa satu sama lain.
Keadaan kampung makin sepi. Sekali, ada segerombolan bapak-bapak yang mengenakan sarung sembari memegangi sebuah senter, masing-masing satu. Mereka tersenyum ramah kepada Nenek dan melambaikan tangan pada Rakan. Rakan melihat ke arah Nenek, Nenek membalas dengan tersenyum kepada mereka. Rakan membalas dengan lambaian tangan.
Nenek masih asyik nyirih. Sebenarnya, Rakan tidak suka melihatnya. Mengerikan dan Nenek jadi bau. Tapi, ia teringat pernyataan mamanya, nyirih adalah kegiatan yang disukai Nenek, sama seperti ia menyukai makan permen.
Aku nggak bisa melarang Nenek makan itu. Nanti Nenek malah melarangku makan permen.
“Apa Nenek tidak pernah merasa kesepian?” tanyanya penuh telisik. Ia memberanikan diri memulai obrolan. Soalnya, Nenek hanya melamun dan tidak memulai percakapan sedari tadi.
“Nenek sudah terbiasa, Le. Namanya hidup di kampung yah begini. Kamu gimana Thole? Nyaman tinggal disini?”
“Ngg…nyaman, Nek,” jawabnya ragu.
“Maafkan Nenek tidak punya rumah layak untuk ditinggali. Hanya seadanya.”
“Tidak, Nek. Aku nyaman kok! Aku hanya kangen Mama,” serunya berkelit.
“Kita doakan semoga mamamu segera mendapatkan pekerjaan yang stabil dan mendapatkan tempat tinggal yang layak, ya!”
“Amin!”
Kini Nenek yang terbatuk-batuk, tapi bukan batuk kecil. Suara batuknya keras dan sesekali bersin.
“Ayo, kita masuk ke dalam, Nek! Cuaca mulai dingin!”
***
Menjelang pagi, Nenek membuka penutup mangkok mie ayam, menyodorkan mie ayam sisa semalam kepada Rakan untuk dimakan. Namun, mie ayamnya sudah menggumpal dan dingin. Rakan menolak.
“Nek, aku makan mie instan saja ya. Masih ada sisa satu bungkus kan?”
“Iya, sebentar ya, Le!
“Permisi, Nenek Ainur!” Suara wanita terdengar dari arah pintu.
Nenek yang menunggu api membesar di pembakaran tunggu, meninggalkannya untuk sementara waktu. Ia berjalan ke depan dengan pelan. Maklum bungkuknya terasa semakin parah.
“Nenek ini ada sedikit lauk. Kemarin ada acara syukuran bayiku. Ia sudah berusia satu bulan. Mohon diterima lauk yang ala kadarnya ini ya!”