Hujan deras tiba-tiba mengguyur bumi saat malam hari tiba. Jendela kamar Rakan terbuka, terkena angin kencang.
Tok Tok Tok
Pintu jendela kamarnya mengenai dinding bambu. Rakan mengucek-ngucek matanya. Ia sempat kaget melihat bayangannya sendiri di cermin.
“Astaga, Rakan ganteng!” pekiknya menghibur diri sendiri.
Ia membalikkan badannya. Menoleh ke arah jendela. Terbuka. Pintu jendela melambai-lambai. Kilatan halilintar nampak dari sana. Terlalu terang. Sampai daun kelapa dari kebun Bu Leila nampak jelas saat kilatan halilintar itu datang, disusul suara gemuruh setelahnya.
Di saat yang bersamaan, ia kebelet ke kamar mandi. Kengeriannya semakin memuncak saat ia teringat kejadian waktu itu. Hantu dekat kamar mandi. Ia berniat untuk menahan air kencingnya sampai besok pagi, tetapi kantung kemihnya berkata lain.
Ia bangkit berdiri. Kilatan petir tiba-tiba nampak di langit saat dengan isengnya ia menatap ke luar jendela. Langit berwarna hitam legam. Rintik hujan semakin menjadi-jadi. Terdengar seperti sebuah auman harimau.
Tik tik tik.
Bunyi tetesan air merembes di dinding kamar. Rakan tidak peduli. Ia keluar kamar dan langsung berlari ke kamar Nenek yang ada di ruangan sebelah.
“Nek, Nenek! Bangun, Nek!” Ia mengguncang tubuh Nenek dengan kedua tangannya.
Nenek tersentak, kemudian mengerjap-ngerjap kedua matanya.
“Ada apa, Le?”
“Temenin aku ke kamar mandi, nek. Aku takut.”
Nenek menurut. Ia duduk sebentar sebelum bangkit berdiri. Rakan memegang tangan Nenek, kemudian mereka berdua berjalan ke kamar mandi. Nenek menunggunya di depan kamar mandi, ia duduk membelakangi Rakan yang sedang buang air kecil. Sering kali Nenek ingin terlelap, kepalanya terjatuh dari tangannya yang digunakan sebagai penopang. Mengangguk-angguk hebat seperti alu yang menumbuk beras.
Rakan buang air kecil, membelakangi Nenek yang sedang duduk di luar pintu kamar mandi. Ia masih gelisah. Ia takut kalau-kalau hantu itu akan menampakkan dirinya lagi. Setelah buang air, ia mengambil air dengan gayung. Menyiram lubang kloset sebanyak dua kali. Ada yang toel telinganya dari belakang.
“Iih, Nenek apaan sih?”
Rakan menengok ke belakang. Nenek masih duduk disana. Membelakangi dirinya.
Nenek tidak mungkin bisa berjalan dengan cepat dan duduk kembali ke kursi bukan?
Rakan menangis. Suara tangisannya melebihi suara petir di luar rumah. Nenek tersentak dan tersadar. Ia berlari menghampiri Rakan.
“Kamu kenapa Thole?”
“Ada yang toel telinga aku. Aku takut.”
Nenek memeluk Rakan. Tubuhnya bergetar hebat.
“Bagaimana jika Nenek temenin kamu tidur?”
Rakan mengangguk. Nenek menuntunnya ke kamar Rakan.
“Nek, nanti tutupin jendela kamar ya! Jendela kamarku terbuka lebar. Aku takut.”
Nenek mengiyakan. Tubuh Nenek bau sirih. Indra penciuman Rakan mulai terbiasa dengan aroma badan Nenek. Walaupun ia tetap tidak menyukai bau itu. Ia terpaksa. Lebih baik tidur bersama Nenek daripada sendirian.
Rakan tidur sampai besok pagi menjelang. Hujan sudah berhenti. Cuaca dingin mengudara di pagi ini. Debu-debu terhapus, dibawa oleh hujan semalam. Udaranya lebih segar.