Rakan enggan bangun. Tubuhnya terasa kaku dan pegal. Saat ia menggerakkan tubuhnya, ganti posisi. Betis kirinya langsung meringis. Kakinya kaku. Matanya melihat ke bawah, melihat keadaan kakinya. Warna luka lebam itu semakin biru dan jika dipegang terasa keras. Ia iseng menekan lebam itu.
“Auwww. Sakit. Nenek!”
“Bangun, Le. Makan dulu.” Nenek berteriak dari arah dapur.
Seandainya yang teriak itu adalah salah satu dari kedua orang tuanya. Ia akan memanjakan diri dengan meminta gendongan. Tapi, yang sekarang bersamanya adalah Nenek. Nenek pasti tidak bisa dan ia pun tidak tega. Tubuh Nenek sudah bungkuk. Pasti lelah bagi Nenek jika harus menggendongnya.
Terpaksa, ia berjalan dengan tertatih-tatih ke dapur. Kaki kirinya susah digerakkan. Ia pincang.
“Kamu istirahat di rumah ya! Jangan ke pasar dan ingat jangan main ke luar. Kakimu masih sakit.”
“Iya, Nek!”
Rakan hanya makan sedikit. Ia tak memiliki nafsu makan. Saat Nenek keluar rumah, Ari dan abangnya sedang menjemur kasurnya Rakan. Awalnya Rakan tidak tahu, tapi ia tahu setelah Nenek mengeluarkan suatu pernyataan kepada kedua anak remaja itu.
“Terima kasih sudah bantuin Nenek. Nenek sudah tua, tidak bisa menjemur kasur. Kasurnya berat.”
“Tidak apa-apa, Nek. Kami dengan senang hati membantu. Kalau boleh tahu kenapa bisa basah, Nek? Kasur siapa ini? Kan semalam tidak hujan?” Rentetan pertanyaan seperti peluru dilontarkan Ari. Ia masih mengira kasur bisa basah karena terkena air hujan.
“Itu kasur Rakan. Tiba-tiba basah saat ia terbangun.” Dengan polosnya Nenek mengatakan siapa yang menjadi tergugat. “Nenek pamit ke pasar ya!”
“Hati-hati, Nek!” Rakan, Ari, dan abangnya Ari menjawab serempak.
Rakan memutuskan untuk duduk di gazebo sambil memperhatikan Nenek benar-benar sudah tidak tampak di ujung jalan.
Awalnya, Ari dan abangnya berbisik, kemudian tertawa kecil. Tak lama kemudian suara tawa semakin membesar.
“Iih, kenapa sih? Kalau bantuin Nenek tuh yang ikhlas. Bukannya malah tertawa.” Rakan protes. Ia berlagak bak seorang pengawas. Mengawasi kerja kedua remaja itu.
“Rakan, kamu ngompol ya?” Ari tertawa lagi. Sesenggukan.
“Aku nggak ngompol.”
Kasur dibiarkan terjemur di bawah matahari. Ari dan abangnya sudah pergi sejam yang lalu. Rakan masih duduk di gazebo. Ia kesal.
“Siapa yang meremas kakiku? Apa ada seorang pencuri yang masuk? Karena dia tidak dapat apa-apa, jadi dia meremas kakiku? Kenapa harus aku? Aku tak ada salah kepadanya.”
Rakan bersungut-sungut. Percuma ia terus mengomel tidak jelas. Jika benar itu pencuri. Pencuri itu juga tidak mungkin akan kembali.