“Nenek memang pandai urut. Kakiku sudah pulih. Terima kasih, Nek!” Rakan tersenyum, kemudian memeluk Nenek. Nenek terkejut, namun ia tersenyum di balik wajahnya yang lelah.
Semalaman Nenek tidak tidur. Ia menjaga Rakan yang tidurnya kurang pulas. Bergerak kesana-kemari. Cuaca panas dan nyamuk sangat banyak. Sesekali memang ia ingin terlelap, tetapi tubuh Rakan yang bergerak sering-sering terkena badannya. Ia kembali tersadar dan mengipasi Rakan lagi. Begitu terus sampai kira-kira pukul tiga subuh. Nenek akhirnya kelelahan. Ia tertidur di kamar Rakan.
“Aku ikut Nenek ke pasar ya?”
“Le, jangan. Kakimu baru sembuh. Nanti jika dibawa jalan jauh, takut kambuh lagi. Lebamnya juga masih ada.”
“Kan ada tangan ajaib Nenek yang urut kaki aku. Tenang saja.”
“Jangan, Thole! Nenek aja sendirian ke pasar.”
Iih, Nenek susah banget sih dibilanginnya.
“Aku ke pasar mau bantuin Nenek jualan. Aku mau dapat uang jajan, please.” Rakan mengatupkan kedua jarinya ke depan dada.
Nenek ingin menolak lagi, tetapi Rakan memasang muka memelas, seperti hampir-hampir menangis.
“Baiklah!”
Yes. Sebenarnya bukan uang jajan yang aku incar, Nek. Tapi, aku mau bawain barang Nenek. Banyak banget. Kenapa Nenek masih bekerja di usia renta? Padahal seharusnya Nenek menikmati masa tua.
“Thole kenapa melamun? Jadi ke pasar atau Nenek tinggalin?”
Rakan tersadar dari lamunannya. Ia segera berlari ke luar rumah.
“Eh, tunggu Nek!”
Menutup pintu, tak lupa menaruh ganjalan pintu di bagian bawah.
Saat mereka sudah dekat area pasar, Nenek tumben mengambil jalan yang berbeda daripada biasanya. Biasanya Nenek akan masuk melalui gerbang pasar bagian depan, tetapi pagi ini mereka masuk lewat samping.
“Ramai jika lewat depan, Le!” jawab Nenek singkat.
Jalan yang mereka tempuh melewati toko mainan. Rakan iseng melihat, tetapi matanya langsung membelalak. Matanya tertaut pada pahlawan merah yang digantung di langit-langit warung. Mainannya ada lagi, tetapi Rakan tahu jika Nenek pasti tidak punya banyak uang. Apalagi Rakan sendiri. Uang seribu rupiah sangat lama dikumpulkannya.
“Nenek!” panggilnya lirih ketika mereka sudah sampai di tempat Nenek menjajakan dagangannya.
“Iya, Le”
“Nek, kalau Mama kesini, minta Mama belikan pahlawan merah untuk aku ya!”
Nenek mengangguk. Ia tersenyum.