Pukul tujuh malam saat Nenek dan Rakan pulang ke rumah. Rakan membantu Nenek menggantung lampu petromak di ruang tamu dan dapur, sedangkan Mamak menggantung lampu petromak di depan rumah. Rakan izin ke Nenek untuk mandi terlebih dahulu dan pintu kamar mandi harus dalam keadaan terbuka. Setidaknya, ada Nenek yang masih ada di dapur. Ia tidak mau sendirian saat malam hari, terutama di kamar mandi.
Saat Rakan selesai mandi, ia langsung ke kamarnya. Mengganti pakaiannya. Nenek masuk ke dalam kamarnya sendiri. Betapa terkejutnya saat Nenek masuk kamar, Baju-bajunya berserakan di kasur dan di lantai. Pintu lemari pakaian terbuka lebar. Ia teringat pada dompet hijaunya. Ia mengecek isinya. Cincin emasnya tidak ada.
Di kamar sebelah, Rakan baru teringat cincin emas Nenek masih ada di saku celana yang ia pakai ke pasar. Ia berlari ke luar kamar. Rakan mengintip kamar Nenek, nampak Nenek berdiri mematung di depan lemari.
“Aduh, Nenek sudah sadar kalau cincin emasnya tidak ada.”
Rakan menuju belakang rumah. Berjongkok di depan ember baju kotor. Merogoh cincin emas yang ada di saku celananya yang ia pakai sebelumnya. Berlari lagi ke kamar Nenek.
“Maafkan aku, Nek! Aku tidak bermaksud mencuri.” Rakan menyodorkan cincin emas itu. Nenek menerimanya, mengeceknya, dan menyimpan kembali ke dompet hijau.
“Tadi aku melewati toko mainan itu. Pahlawan merah sisa satu. Jadi, aku berlari ke rumah dan mengambil cincin itu. Awalnya aku kira dompet Nenek ada uangnya, tapi hanya ada foto dan cincin. Jadinya, aku ambil cincin itu dan ingin menukarnya dengan pahlawan merah, tetapi Kakak penjual itu marah. Ia hanya menerima uang. Maafkan aku Nek!”
Nenek hanya tersenyum. Ia tidak marah sama sekali.
“Ayo, kita makan!”
Nenek ke dapur. Ia merebus mie kaldu instan untuk Rakan. Bungkusan terakhir, yang kemarin bungkusannya sudah dibuka. Rakan tidak enak hati. Jadinya, Rakan membagi mie instan itu kepada Nenek juga. Semangkok makan untuk berdua.
“Nek, kenapa ada foto Idhang di dompet Nenek? Tadi di pasar aku ada lihat dia, tapi dia lari. Sepertinya dia masih marah padaku karena aku sempat iseng mendorongnya ke sungai. Rumahnya Idhang dimana ya, Nek?”
Nenek diam. Hanya diam.
Rakan tidak berani bertanya lebih lanjut. Rakan takut Nenek masih marah padanya. Malam itu, seperti biasa Nenek akan menemaninya sampai tertidur dan kemudian Nenek akan kembali tidur ke kamarnya.
Saat tengah malam. Nathan bangun karena ada yang mencolek lengannya. Ada Idhang di kamarnya. Idhang kedinginan, tubuhnya bergetar hebat.
“Idhang? Kamu kenapa, kedinginan? Ayo, sini tidur bareng aku.” Rakan tidak bisa berpikir jernih. Ia masih setengah sadar. Rakan menggeser tubuhnya ke samping, sehingga Idhang bisa tidur satu kasur dengannya.
Keesokan paginya, Idhang sudah tidak ada di kamar, tapi kasurnya lagi-lagi basah.
“Ih, Idhang nih! Pasti dia ngompol tadi malam! Sekarang dia kabur entah kemana.”
Nenek meminta Ari dan abangnya untuk menjemur kasurnya Rakan lagi.
“Oi, Rakan. Sini dikasih capung udelnya. Ngompol mulu!”
“Ihh bukan aku. Itu tuh Idhang yang ngompol. Semalam dia nginap disini. Pas aku bangun dia sudah tidak ada. Pasti dia kabur. Takut kena marah Nenek.”
Saat Rakan protes, ada mobil yang datang. Endah datang.
“Mama! Ma, masa aku dituduh ngompol sama mereka? Idhang yang ngompol. Bukan aku. Bilangin, ma!”
Endah bingung. Baru datang tapi Rakan sudah merengek seperti ini dan menyebut nama Idhang.