Gerimis turun sepanjang perjalanan menuju sekolah. Papa mengemudikan mobil dengan cepat, menerobos jutaan tetes air. Aku menatap jalanan basah dari balik jendela. Aku selalu suka hujan. Menatap butiran air jatuh, itu selalu menyenangkan.
"Kamu nanti pulang sore?" Papa bertanya, tangannya menekan klakson, ada angkutan umum mengetem sembarangan, meng- hambat lalu lintas pagi yang mulai macet di depan.
"Tidak ada les, Pa. Ra langsung pulang dari sekolah," aku menjawab tanpa menoleh, tetap menatap langit gelap.
"Oh. Berarti kamu bisa ya, menemani Mama ke toko elektronik?"
Aku mengangguk. Tanganku menyentuh jendela mobil. Dingin.
"Mesin cuci itu. Kamu pernah memikirkannya, Ra?" Papa sepertinya masih tertarik dengan percakapan di meja makan tadi. Ia menekan klakson, menyuruh dua motor di depan yang sembarangan menyelip di tengah kemacetan agar menyingkir. "Ya?" Aku ikut menatap ke depan.
"Usianya sudah lima tahun, bukan?" Papa tertawa kecil, mem- bayangkan sekaligus berhitung.
"Ya!"
"Kamu tahu, kalau setiap hari mesin cuci itu mencuci pakaian sebanyak dua puluh potong, maka selama lima tahun, itu berarti lebih dari 36.000 potong pernah dicucinya, hingga akhirnya rusak, minta diganti. Hebat, bukan?"
Aku mengangguk pelan, menatap halte yang baru saja kami lewati. Ada lima-enam anak sekolah sepertiku sedang menunggu angkutan umum dan beberapa pekerja kantoran. Lampu kendara- an menyala, kedip-kedip. Beberapa pedagang asongan berdiri dan seorang pengamen membiarkan gitarnya tersampir di pun- dak. Pemandangan yang biasa sebenarnya, tapi hujan gerimis membuat suasana terlihat berbeda.
"Konsisten. Eh, bukan, persisten maksud Papa. Ya, itu kata yang lebih tepat. Kamu tahu, Ra, persisten membuat kita bisa melakukan hal hebat tanpa disadari. Seperti mesin cuci itu. Sedikit setiap harinya, tapi dalam waktu lama, tetap saja hebat hasilnya. Coba kamu bayangkan 36.000 potong pakaian, itu lebih banyak dibanding koleksi seluruh department store besar." Papa tertawa lagi.
Aku mengangguk. Aku tahu kebiasaan keluarga kami. Papa selalu suka "menasihatiku" dengan caranya sendiri. Seperti mengajak bicara hal unik pada pagi yang basah menuju sekolah ini. Mungkin orangtua kebanyakan lainnya juga seperti itu. Selalu merasa penting mengajak anak-anak remajanya bicara se suatu, menasihati, dan berharap kalimat-kalimat itu bekerja baik-meskipun hanya urusan mesin cuci. Terlepas dari kesibukannya juga topik pembicaraan yang kadang tidak menyambung dengan situasi-bagiku Papa menyenangkan. Dia selalu ada saat aku butuh seorang papa.
"Dan satu lagi, Ra. Urusan mesin cuci ini masih punya satu lagi yang hebat." "Oh ya?" Aku memperhatikan wajah Papa yang riang.
"Coba kamu hitung. Jika setiap hari Mama mencuci lima potong potong pakaianmu, maka selama lima belas tahun terakhir, di- hitung sejak kamu bayi, itu jumlahnya sekitar, eh, 30.000 lebih. Atau, untuk Papa, tujuh belas tahun sejak menikah, angka- nya lebih banyak lagi. Bisa 40.000 potong. Papa lebih banyak ganti baju, bukan? Total 70.000 potong lebih. Untung saja Mama tidak menarik uang laundry ke kita ya, Ra? Kalau satu potong Mama tarik seribu perak saja, wuih, banyak sekali tagih- annya." Papa tertawa.
Aku ikut tertawa, mengangguk.
Pembicaraan mesin cuci ini terus menjadi trending topic hingga mobil dikemudikan Papa tiba di depan gerbang sekolah. yang Gerimis menderas, para siswa yang satu sekolah denganku ber- hamburan turun dari angkutan umum, mobil pribadi, motor, atau jalan kaki. Mereka bergegas masuk menuju bangunan yang kering.
"Kamu bawa saja payungnya, Ra." Papa menoleh, menunjuk ke belakang. "Tenang saja, di kantor nanti Papa bisa minta tolong satpam membawakan payung ke parkiran. Atau menyuruh siapalah untuk memarkirkan mobil." Papa seakan mengerti apa yang kupikirkan.
Tanpa banyak bicara, aku meraih payung di belakang kursi, mencium tangan Papa, membuka pintu mobil, lalu beranjak turun. "Dadah, Papa!"
"Dadah, Ra!"
Aku menutup pintu mobil. Dua detik kemudian, mobil Papa kembali masuk ke jalanan.
Petir menyambar selintas, disusul gemuruh guntur memenuhi langit. Aku mendongak, sengaja belum mengembangkan payung. Awan hitam terlihat memenuhi atas kepala sejauh mata me- mandang. Bergumpal-gumpal, terlihat begitu suram. Terlihat seperti menyembunyikan sesuatu. Entahlah. Aku selalu suka hujan. Semakin lebat, semakin seru. Aku membayangkan awan- awan gelap itu dan berdiri di antaranya.
Dulu waktu usiaku masih empat-lima tahun, setiap kali hujan aku selalu memaksa bermain di halaman. Sesekali Mama meng- izinkan-malah menawari. Itu permainan kedua yang kukenal, setelah petak umpet yang berakhir membosankan. Aku berlari melintasi rumput yang basah, menggoyang dahan pohon mangga yang menjatuhkan airnya dari daun, menduduki lumpur, me- lempar sesuatu, menendang sesuatu, dan tertawa gembira. Itu selalu seru.
Sayangnya, Mama memiliki definisi ketat soal main hujan- hujanan. "Masuk, Ra, sudah setengah jam. Cukup." Aku meng- geleng, tidak mau. "Ra, tanganmu sudah biru kedinginan. Ma- suk. Besok kan bisa lagi." Mama melotot-Papa mengamini, juga menyuruhku masuk. Aku kalah suara, dua banding satu. Aku merengut, terpaksa menerima uluran handuk kering. Atau, "Aduh, Ra, kan baru kemarin kamu main hujan-hujanan? Mama menggeleng tegas. "Sebentar saja, Ma. Kan kata Mama besok bisa main lagi," kilahku. Mama tetap menggeleng. "Lima menit? "Tidak. "Tiga menit?" Tidak. Seberapa pun aku merajuk, me- nangis, jawaban Mama tetap tidak-Papa mengamini. Aku kalah suara lagi, dikurung dalam rumah.