BUMI Ajari Aku Kematian

Nofi Yendri Sudiar
Chapter #1

Pertemuan

Tahun ini musim hujannya lebih panjang daripada tahun lalu. Hari ini, yang semestinya masih musim kemarau, hujan turun sangat lebat. Semenjak senja sampai pagi ini hujan tiada henti-hentinya mengguyur kota kelahiran Bumi. Bumi telah sembilan tahun meninggalkan tanah kelahirannya yang berencana untuk melanjutkan sekolah ke pulau Jawa. Bumi baru tiga hari ini sampai di tanah kelahirannya. Dan sejak saat itu ia belum sempat kemana-mana karena masih terganggu dengan derasnya hujan, bahkan dibeberapa tempat telah terjadi kebanjiran yang cukup parah. Hari ini Bumi berencana menemui teman lamanya yang juga telah sembilan tahun ini tak ketemu. Ia mendapat kabar bahwa Lancang akan sampai di kota ini hari ini. Walaupun sebelumnya mereka sama-sama tinggal di Bandung, tapi mereka tak pernah bertemu sejak selesai UMPTN tahun 1996. Tahun 1996 itu juga yang menjadi awal dari berpisahnya persahabatan mereka. Bumi yang waktu itu tak lulus seleksi penerimaan mahasiswa baru menghilang dari rekan-rekan sekotanya. Dan baru kali ini ia ingin bertemu lagi dengan sahabat yang pernah sama-sama mengikuti bimbingan belajar di kota kembang itu.

Sementara itu Lancang saat ini bekerja di Pertamina Daerah Operasi Hulu Sumatera Bagian Tengah yang terletak di Bajubang propinsi Jambi. Ia bekerja disana sejak tahun 2000. Beberapa waktu yang lalu Lancang melakukan survey di daerah Ketaling, dan malang menimpa dirinya. Ia jatuh dari Rig dengan ketinggian 10 m. Beruntung nyawa Lancang tak ikut melayang. Ia hanya mengalami beberapa luka dan patah tulang. Ia sempat tak sadarkan diri selama dua hari di Rumah Sakit Umum Raden Mattaher kota Jambi. Setelah sadar dan luka-lukanya mulai mengering, orang tua Lancang meminta agar anak mereka dibawa ke kampung halaman untuk mengobati tulangnya yang patah dengan ahli urut patah tulang tradisional. Kabar bahwa Lancang mengalami kecelakaan kerja ini sudah menyebar beberapa hari ini di rumah orang tuanya yang kebetulan juga berdekatan dengan kediaman orang tua Bumi.

Dari sinilah Bumi mendapat kabar bahwa Lancang akan sampai hari ini di Padang. Sebenarnya Bumi masih belum berani menemui sahabat lamanya itu, tapi karena kecelakaan itu ia memberanikan diri untuk menemui sahabatnya. Hujan baru reda sekitar pukul sembilan pagi.

 

Mei 1996…

  Pagi itu sekitar pukul tiga dini hari bus antar kota antar propinsi yang berasal dari pulau Sumatera itu sampai di kota kembang Bandung. Bus ini membawa penumpang yang kebetulan semuanya dipenuhi oleh beberapa siswa Sekolah Menengah Atas yang mau melanjutkan sekolahnya ke jenjang perguruan tinggi di Bandung. Mereka sedianya mengikuti bimbingan belajar di kota ini. Beberapa diantara penumpang itu baru kali ini menginjakkan kakinya di daerah yang berudara sejuk ini. Tak terkecuali tiga orang sahabat yang sedang menunggu sanak keluarga mereka untuk menjemput. Bumi Martha, Lancang Ghazali dan Kuning Renosari adalah orang terakhir yang dijemput famili mereka. Mereka baru meninggalkan pool bus tersebut sekitar pukul lima pagi. Mereka bertiga telah bersahabat semenjak kecil dan sekolah di SMA yang sama. Persahabatan mereka selain dikarenakan kedekatan tempat tinggal juga karena mereka di SMA selalu satu kelas dari kelas satu sampai kelas tiga.

Lancang dan Kuning dijemput oleh kakak mereka. Sementara Bumi dijemput oleh sepupu dari pihak ayahnya. Bumi tinggal agak berjauhan dengan Lancang dan Kuning. Meskipun demikian mereka bertiga tetap mengikuti bimbingan belajar di tempat yang sama. Bumi tinggal di daerah Cikutra, sehingga untuk menuju tempat bimbingan belajar yang terletak di jalan Sumur Bandung, ia harus naik angkot jurusan Cicaheum-Ciroyom. Sementara itu Lancang dan Kuning tinggal di daerah Haur Mekar dan untuk menuju tempat bimbingan belajar kadang mereka naik angkot, kadang mereka cukup berjalan kaki. Tetapi mereka lebih sering berjalan kaki ketimbang naik angkot. Maklum udara dikota ini jauh lebih sejuk dibandingkan dikota tempat mereka dilahirkan, apalagi itu dinikmati dipagi hari. Lancang dan Kuning tinggal serumah dengan kakak mereka yang telah lebih dulu setahun tinggal di Bandung. Kuning merupakan satu-satunya anak kakak ibu Lancang yang perempuan. Jadi orang tua Kuning tak mau anaknya tinggal kost sendirian dan ini sudah menjadi tanggung jawab Lancang dan kakaknya untuk selalu menjaga Kuning.

Lancang dan Kuning menempati kelas yang sama dan selalu masuk pukul sepuluh pagi, sementara Bumi menempati kelas pagi yang masuk pukul tujuh. Mereka hanya bertemu sekali seminggu sewaktu try-out. Mereka sibuk dengan urusan masing-masing sampai saat ujian masuk perguruan tinggi tiba.

Selepas UMPTN mereka sempat beberapa saat menikmati bersama keindahan kota Bandung. Mereka menyempatkan diri mengunjugi gua Kelelawar di daerah Dago, Gunung Tangkuban Perahu dan Maribaya di daerah Lembang. Bahkan mereka juga sempat lari pagi di daerah Punclut sampai ke Boscha untuk melihat teropong bintang dari dekat meski itu hanya dari luarnya saja. Bumi begitu bahagia sekali dengan pengalamannya kali ini, begitu juga halnya dengan Lancang dan Kuning. Hanya berselang seminggu sehabis ujian, Bumi dibawa oleh sepupunya ke Rangkas Bitung untuk menemui adik bapaknya. Hampir dua minggu lebih Bumi berada di Rangkas Bitung sebelum kembali ke Bandung untuk menemui kedua sahabatnya.

Hari yang ditungu-tunggupun tiba. Sekitar minggu keempat bulan Juli, hasil UMPTN diumumkan secara nasional. Hari itu menjadi hari yang bersejarah buat mereka yang menginginkan masa depannya lebih baik. Mereka yang berhasil lulus bersuka cita untuk menempuh kehidupan kampus. Ada yang lulus karena memang keinginannya, ada yang lulus karena tak sengaja dan ada pula yang cuma sekedar lulus karena hasil di’joki’in oleh orang lain. Dan mereka semua tetap merasa bangga. Namun yang lebih menyedihkan adalah mereka yang tak lulus. Mereka terlihat stress dan bingung karena tak percaya dengan apa yang telah terjadi. Begitu juga halnya dengan Bumi.

Bumi merasa terguncang dengan hasil yang baru dilihatnya. Padahal sebelumnya ia sangat merasa yakin bahwa ia akan lulus dengan sempurna. Ia tak dapat menerima kenyataan ini. Ia merasa kecewa sekali, apalagi ditambah dengan fakta bahwa Lancang dan Kuning berhasil lulus sesuai dengan keinginan mereka masing-masing. Lancang lulus pada jurusan Geofisika di Institut yang sangat terkenal di Bandung, sementara Kuning lulus pada jurusan Teknik Industri di salah satu universitas negeri di Padang.

Yang lebih menyakitkan hati Bumi adalah bahwa ia merasa bahwa kemampuan mereka bertiga adalah sama. Dari grade yang diberikan bimbingan belajar sehabis UMPTN, Bumi merasa bahwa hasil yang mereka peroleh bertiga juga sama.

Dari sinilah Bumi mulai tak bisa untuk menerima kenyataan. Ia merasa bahwa nasibnya telah menyeret kehidupannya kejurang kegagalan. Ia merasa bahwa Tuhan telah bertindak tidak adil. Ia memutuskan untuk tak ingin menemui lagi kedua sahabatnya itu untuk sementara. Dan kenyataannya mereka memang tak pernah ketemu lagi sehabis pengumuman UMPTN itu.

Keesokan harinya, Bumi langsung pergi meninggalkan kota Bandung. Ia tak tahu harus kemana. Dan ia juga tak ingin kembali ke kampungnya. Bumi telah bertekad untuk tak kembali ke tanah kelahirannya sebelum ia menjadi orang sukses. Pagi itu, ia menaiki bus yang menuju kota Pangandaran. Memang tak ada teman ataupun familinya yang berdomisili disana, tapi ia berniat pergi kesana karena termakan oleh rayuan agen di terminal pagi itu. Kota itu sangat jauh dari bayangan Bumi sebelumnya. Ia tak menyangka bahwa Pangandaran itu terletak di pinggir pantai. Bumi masih beranggapan bahwa tempat yang ditujunya kali ini terletak masih didaerah perbukitan seperti layaknya kota Bandung. Pikiran Bumi masih diliputi oleh kekecewaan. Keindahan alam bumi Pangandaran tak mampu menjernihkan kekecewaan Bumi.

Bumi tak mempunyai rencana khusus di Pangandaran. Ia berjalan hanya mengikuti kemana arah kakinya melangkah. Tak seorangpun yang dikenalnya di perkampungan yang terletak dipinggir pantai ini. Bumi masih saja melamun ketika seorang nelayan mendekatinya.

“Dek, mau main ke Pasir Putih dek!”, nelayan itu menawari Bumi untuk menikmati keindahan pantai yang pasirnya bewarna putih itu.

“Dek, masih kurang seorang lagi !”

Bumi tak menjawab tawaran dari nelayan itu. Bumi hanya memelototi nelayan itu sampai beliau pergi meninggalkan Bumi sendirian. Entah pikiran apa yang sedang bekecamuk dalam pikiran Bumi saat ini. Yang pasti ia tetap membatu memandangi lautan yang ada dihadapannya.

Kalau saja situasinya tidak seperti yang dialami Bumi kali ini, barangkalai Bumi akan dengan enjoynya menikmati keindahan ciptaan Tuhan ini. Pantai Pangandaran memang diakui sangat indah dan landai. Ombaknya yang tenang semestinya dapat menenangkan pikiran kalut Bumi. Di ujung sebelah kiri Bumi duduk, terdapat sebuah cagar alam yang juga tak kalah menariknya. Di dalam cagar alam itu terdapat berbagai jenis hewan, tak ketinggalan lutung dan kera yang selalu menyapa pengunjung dengan aktingnya yang selalu meminta makanan dari pengunjung. Kera itu datang bergerombolan untuk meminta makanan dari pengunjung. Bagi yang tak terbiasa dengan situasi seperti itu, barangkali ia akan cemas seakan-akan diserang oleh segerombolan kera tersebut. Masih ada lagi keindahan alam yang dapat dinikmati disana yaitu beberapa buah gua yang menakjubkan. Ada gua yang stalagtit dan stalagnitnya begitu menawan dan ada juga gua yang ujungnya berakhir di pinggir pantai. Konon lokasi ini sering dipakai untuk syuting beberapa film laga nasional. Namun semua keagungan Pencipta itu belum juga dapat membuat kekacauan pikiran Bumi berkurang.

Seharian penuh Bumi hanya berjalan menyusuri pinggir pantai Pangandaran, mulai dari cagar alam sampai ke Batu Hiu. Sesampai di Batu Hiu, Bumi beristirahat pada bongkahan batu yang paling besar sembari menyaksikan matahari terbenam di ujung cakrawala. Langit yang kemerah-merahan semakin membakar bara dendam dikepala Bumi. Perlahan-lahan langit mulai mengelam, burung-burung kembali kesarangnya dan lantunan azan magrib seakan pertanda pertukaran siang dan malam. Bumi masih belum beranjak dari tempat duduknya semula. Seseorang mendekatinya.

“Ngak baik, senja-senja begini duduk di pantai Den. Nanti kesambet Ratu Pantai Selatan!”

Kali ini Bumi mematuhi ajakan bapak yang menegurnya. Bumi kembali berjalan tanpa tujuan, sampai ia berhenti di sebuah mesjid.

Lihat selengkapnya