Bumi masih ragu harus memulai dari mana. Ia belum punya keberanian untuk menceritakan semua kisah yang telah dijalaninya selama ini.
“Ada apa Mi? sepertinya ada yang kamu pikirkan ya?”
“Ah, gak ada apa-apa kok!”
“Kalau kamu ada masalah, bilang aja terus terang”.
“Benar, gak ada apa-apa!”
“Kayaknya, kamu sudah banyak berubah deh! Gak seperti dulu lagi. Kamu biasanya selalu terbuka, apa adanya. Gak pernah ada rahasia diantara kita kan! Masak sih, sudah hampir sebulan kita disini, kamu gak ada cerita padaku tentang sembilan tahun yang tak kita lewati bersama”.
Memang telah hampir sebulan dua sahabat ini tinggal di kediaman Tuanku Gunung. Dan selama itu pula Bumi berpikir untuk saling terbuka kepada Lancang. Hari ini adalah hari pertama Lancang diperbolehkan untuk menikmati segarnya udara pegunungan setelah sekian lama ia terbaring di tempat tidur. Sedianya Bumi akan menemani Lancang untuk berkeliling sekitar kediaman Tuanku Gunung. Lancang telah diperbolehkan untuk berjalan-jalan dengan bantuan dua buah kruk.
“Cang, kita cari tempat untuk menikmati pemandangan yuk! Aku ingin menikmati hamparan sawah dari dekat batu besar yang ada di depan sana. Aku akan menceritakan semua kepedihan yang aku alami selama ini. Dan kurasa saat ini adalah waktu yang tepat untuk menceritakan semuanya”.
“Nah, begitu dong!”
Kedua sahabat tersebut, berjalan mendekati batu besar yang tak jauh dari kediaman Tuanku Gunung. Dari batu itu terhampar sebuah pemandangan yang sangat indah. Disana terlihat hamparan sawah yang luas dari ketinggian. Keelokan alam ini seakan membantu perasaan Bumi untuk menumpahkan semua gundah yang telah membatu di hatinya. Sebagian dari luasnya persawahan tersebut baru ditanami padi, maklum saat ini juga bertepatan dengan masuknya musim tanam. Dari tempat itu mereka juga bisa menikmati kesibukan para petani desa ini bekerja di sawah mereka masing-masing.
“Cang, terus terang aku sangat kagum dengan pemandangan ini. Aku merasa damai disini. Aku ingin kedamaian ini akan selalu mengiringi setiap detik nasibku”.
“Kamu ngomong apa sih Mi?”
“Aku cuma mencoba menikmati suasana disini kok!”
“Lalu apa hubungannya dengan nasib?”
“Kamu tahukan bahwa aku tak sempat menikmati bangku kuliah. Padahal kita pernah berjanji untuk bersama-sama menjadi orang yang sukses dan berguna bagi kedua orang tua kita? Kita pernah sepakat bahwa semua kebahagiaan dan kegetiran hidup akan kita lewati bersama kan? Tapi aku mengingkarinya. Aku lari dari kenyataan. Aku tak lulus untuk menjadi mahasiswa. Aku berusaha untuk tetap tegar, tapi itu jauh dari nasibku. Dan pemandangan ini seakan-akan mampu membujuk jiwaku untuk terus bertahan hidup. Setelah sekian lama, baru kali ini aku bisa menikmati keindahan alam bersama dengan seorang sahabat lama yang telah sukses meraih semua janji kita”.
“Mi..Mi..Mi.., kamu gak boleh ngomong aneh begitu. Itu berarti kau gak mensyukuri karunia Tuhan”.
“Ya, aku memang tak pernah bersyukur selama ini. Dan hari ini aku sedang berusaha untuk mensyukuri keadaan ini!”
“Mi, coba kau lihat lelaki yang ujung sana. Yang memakai baju merah!”
“Ya, aku lihat. Memangnya kenapa?”
“Namanya Dika. Ia anak lelaki pamanku tertua satu-satunya. Saat ini ia menjadi tulang punggung keluarga sejak kematian bapaknya sekitar 7 tahun yang lalu. Bapaknya meninggal karena serangan jantung. Ia mencari nafkah selain untuk diri sendiri juga untuk menghidupi empat orang adik perempuan dan ibunya. Dahulu bapaknya seorang toke beras terkenal dikampung ini. Tak ada satupun petani yang sanggup menandingi kepiawaiannya dalam berusaha. Sehingga ia termasuk golongan orang berada di kampung ini. Sejak kematiannya itu semua usaha yang dirintisnya habis dalam waktu sekejap. Saat itu Dika masih duduk di bangku SMU. Mereka dililit hutang dan jatuh bangkrut. Dengan berat hati, Dika berhenti sekolah dengan alasan tak ada biaya. Kamu tahu apa yang terjadi saat ini! Saat ini Dika tergolong orang yang sukses, walaupun secara materi ia bukan orang yang berkecukupan. Tapi ia mampu menyekolahkan adik-adiknya. Ia bahagia, ia bangga, dan ia tak merasa gagal mesti tak sempat tamat dari bangku SMU. Jadi kamu jangan menilai kesuksesan itu dari jenjang pendidikan saja”.
“Aku mengerti maksudmu Cang! Tapi…”
“Tapi apa?”
“Semua usaha yang aku jalani tak pernah menampakkan hasil, malah membuatku terjerumus ke dalam masalah baru. Jangankan untuk membantu keluargaku, untuk menghidupi diriku sendiri saja aku mesti berjuang mati-matian. Malahan aku pernah gak makan selama seminggu”.
“Jangan kau mengganggap semua itu adalah kegagalan. Anggap saja kau sedang diuji oleh Tuhan untuk menjadi manusia besar kelak dikemudian hari”.
“Amin. Mudah-mudahan Tuhan mendengar ocehan kita kali ini. Dan jujur aku merasa damai disini. Menikmati indahnya pemandangan desa, segarnya udara pegunungan dan tenangnya dinamika penduduk sini. Apalagi ada seorang sahabat yang bisa membuat jiwaku menjadi tenang. Serasa ingin kembali lagi seperti masa-masa SMA dulu. Kita tertawa bersama, menangis bersama dan bermain bersama. Betapa indahnya hari-hari kita bertiga…. O, ya. Ngomong-ngomong Kuning dimana sekarang. Apa kabarnya dan kerja dimana dia?”
“O ya, aku sempat lupa bercerita tentang Kuning padamu. Ia sekarang sudah berkeluarga”.