BUMI Ajari Aku Kematian

Nofi Yendri Sudiar
Chapter #3

Pertengahan 1999

Kuning mengatur nafasnya dengan pelan dan teratur, namun detak jantungnya masih juga belum normal. Ia terus berusaha berjalan tegap meski harus menahan rasa sakit. Air mukanya memancarkan suatu kecemasan ketika melintas dihadapan orang tuanya.

“Kamu kenapa Ning?”, tiba-tiba ayahnya menyapa.

“Gak ada apa-apa Yah!”

“Lalu kenapa celanamu robek?”

“Ee…anu Yah. Anu..!”

“Anu, kenapa? Coba bicara dengan jelas!”

“Anu, tadi Kuning terjatuh!”

Kuning tak dapat menutupi kejadian yang barusan menimpanya. Ia selalu tak bisa berbohong kepada orang tuanya. Raut wajahnya semakin cemas dan tanpa disadari dirinya telah meneteskan air mata.

“Kau tadi pasti jalan sama si Hamdani itu kan! Ayah kan sudah bilang berkali-kali, kamu gak usah lagi berhubungan dengan anak sialan itu. Buktinya sekarang, kau dibiarkan pulang sendirian dalam keadaan begini. Anak itu memang tak bertanggung jawab. Laki-laki macam apa yang membiarkan anak gadis orang pulang dengan kondisi semraut. Jatuh dimana kau tadi?”

Kuning tak menjawab pertanyaan ayahnya. Ia langsung masuk kamar dan menghempaskan badannya di tempat tidur.

Memang beberapa jam yang lalu Kuning dan Hamdani mengalami kecelakaan. Motor yang mereka kendarai menambrak angkot yang berhenti tiba-tiba. Keadaan mereka berdua tidak terlalu parah. Kuning hanya mengalami lecet di kaki kanannya dan jeans yang dipakainya robek dibagian lutut. Sementara Hamdani tak ada luka yang berarti hanya lengan kanannya sedikit keseleo. Hamdani telah berusaha membujuk Kuning agar mereka berterus terang saja kepada orang tua Kuning. Namun Kuning melarangnya. Ia takut ayahnya akan marah besar kepada kekasihnya itu. Dengan sangat terpaksa Hamdani mengantar Kuning hanya sampai ujung gang. Dan selanjutnya Kuning pulang dengan terus berusaha tenang seakan-akan tak terjadi apa-apa sebelumnya.

Kuning dan Hamdani telah berpacaran selama kurang lebih dua tahun. Awalnya kedua orang tua Kuning tak melarang anak sulungnya itu berhubungan. Namun sekitar enam bulan yang lalu sikap kedua orang tua Kuning berubah seratus delapan puluh derajat. Mereka tak lagi merestui hubungan Kuning dan Hamdani. Kuning sendiri tak mengerti kenapa orang tuanya bisa berubah demikian.

Hamdani merupakan senior Kuning empat tahun diatasnya. Hamdani tak sempat menamatkan kuliahnya di fakultas teknik. Ini dikarenakan ia terlalu sibuk dengan organisasi kampus. Kegiatan yang tak ada habis-habisnya itu telah menyita seluruh waktunya. Dengan sangat terpaksa ia mesti menerima keputusan kampus untuk mengeluarkannya. Saat ini Hamdani bekerja sebagai sales marketing pada sebuah perusahaan swasta.

Sekitar pukul delapan malam, hp Kuning berbunyi. Ia membaca sms yang masuk.

“Km gpp Ning? Apa bpkmu marah pdku?”

Kuning menyeka air matanya yang telah membasahi bantal dan segera menghubungi Hamdani.

“Aku baik-baik saja Bang! Ayah marah besar dan sepertinya ini akan menyulitkan kita berdua.”

“Besok aku kerumah ya! Biar aku ceritakan duduk perkaranya pada bapakmu.”

“Jangan Bang! Nanti Ayah bisa nekad. Jelas-jelas Ayah tak suka pada Abang, jangan memperkeruh keadaan lah.”

“Tapi Ning….”

Kuning segera mematikan hpnya. Ia tak mau lagi berdebat tentang orang tuanya dengan Hamdani. Hampir tiap hari mereka selalu bertengkar dan berdebat hanya karena satu hal tersebut. Hamdani terus berusaha meyakinkan Kuning, bahwa bapaknya bisa berubah setelah ia diberi kesempatan untuk mengutarakan isi hatinya. Namun Kuning tak bisa mengabulkan permintaan Hamdani tersebut. Kuning masih belum berani membayangkan resiko yang nantinya akan menimpa mereka berdua. Ia sangat hafal tabiat Ayahnya, jika sudah tak senang dengan seseorang sampai mati ia tak akan bisa melupakannya.

Kuning kembali merebahkan badannya sambil memandangi langit-langit kamarnya. Tetes demi tetes air mata kembali membasahi pipinya. Dari luar kamar terdengar suara ketukan pintu. Ibu Kuning berusaha membujuk anaknya untuk mau keluar kamar.

“Ning, makan dulu ya! Ibu bikin masakan kesukanmu.”

Kuning tak menjawab ajakan ibunya. Ia masih tetap membisu.

“Ning, gak baik mengurung diri begitu. Kamu makan dulu ya! Kalau kamu sakit, ibu juga yang repot. Kuning sayang sama ibu kan!”

“Atau kalau kamu gak mau makan sekarang gak apa-apa kok. Tapi buka dulu pintunya ya! Ada kabar baik buatmu.”

Kuning masih membisu dan tak menggubris ibunya.

“Tadi ada telpon dari bibimu. Katanya besok Lancang mau ke Padang.”

Tiba-tiba Kuning terkejut mendengar berita yang barusan ia dengar dari ibunya. Sejenak ia berpikir dan bangun dari tempat tidurnya. Dengan langkah gontai ia membukakan pintu untuk ibunya.

“Nah, begini kan bagus. Sudahlah, hapus air matamu dan kita bicara di dalam saja ya!”

“Bibi ngomong apa lagi, Bu!”

“Bibi mengundang kita ke rumahnya. Mereka mau kita datang besok sekeluarga kesana. Barangkali mereka mau mengadakan selamatan atau apalah, ibu juga gak diberi tahu. Tapi yang pasti kita kesana saja besok ya! Mau kan?”

“Iye deh!”

Suasana di kamar Kuning masih saja membeku dan kaku. Sebelum Kuning memecah keheningan sejenak.

“Kenapa sih Bu, Ayah gak suka dengan bang Hamdani. Apa karena ia hanya seorang sales. Atau karena ia kena DO. Sales itu kan pekerjaan juga Bu! Ayah gak adil, menilai orang hanya dari luarnya saja. Bang Hamdani orangnya baik Bu, ia sayang sama Kuning. Ia bisa mengerti Kuning. Ia selalu bisa membuat Kuning merasa berarti. Kalau hanya karena masalah pekerjaan atau status, ini kan gak fair Bu!”

Lihat selengkapnya