Bumi dan Harsa

elenio
Chapter #10

Bagian 10

"Naya, Yasa, bangun!" Suara anak laki-laki membangunkanku dan Yasa.


Aku menggeliat, mataku terasa sangat berat untuk dibuka, udara juga sangat dingin.


"Naya, Yasa, ayo bangun!" Suara anak itu kembali mencoba membangunkanku.


"Bentar lagi, Bu. Ini masih dingin," jawabku dengan manja seperti biasa.


"Hei, Naya! Cepat bangun, nanti Paman Azel marah." Anak laki-laki itu tiba-tiba memegang tangan putihku, aku kaget seketika.


Tangannya dingin sekali, seperti es di lemari pendingin rumahku. Aku terlonjak, duduk seketika. Rupanya Adara yang membangunkanku sepagi ini. Lekas aku memegang tanganku yang tadi disentuh oleh Adara. Basah, pantas saja rasanya sangat dingin.


"Maaf, Adara." Aku bergumam pelan, mataku masih terasa perih.


"Bangunkan Yasa juga, Nay. Segera keluar, atau nanti Paman Azel akan marah jika kalian terlambat untuk berlatih." Adara kemudian berdiri, dia keluar, menyibak pintu tenda.


Terlihat sekilas Reiga masih tidur di dekat api unggun beralaskan kain hitam. Astaga, apa dia tidak kedinginan tidur di luar? di atas salju yang dingin. Aku mengerjapkan mata berkali-kali, kemudian membangunkan Yasa dengan menggoyang-goyangkan bahunya. Anak itu malah menggeliat, kakinya menendang-nendang tak jelas.


"Hei, Yas! Ayo bangun!" Aku menggoyang-goyangkan bahu Yasa.


"Apaan sih, ah!" Yasa menepis tanganku.


Aku mengembuskan nafas kesal, kutarik tangan Yasa dan memaksanya untuk bangun. Setelah berjuang keras membangunkan Yasa, aku keluar tenda lebih dulu, keadaan masih gelap, unggun masih menyala terang. Paman Azel duduk disana seraya menambah kayu di unggun yang mungkin terus menyala sejak malam. Aku merapikan pakaian dan menata lagi rambutku yang acak-acakan, lalu mengucirnya. Kemudian melangkah ke atas salju, seketika dingin menyergap. Aku lekas bergabung dengan Paman Azel untuk menghangatkan tubuhku dekat api unggun. Ada kendi tanah liat yang digantung dengan pancang di atasnya untuk memasak air.


"Kamu sudah bangun Naya, aku kira akan sulit membangunkan anak sepertimu," tukas Paman Azel, ia kemudian tertawa seraya memainkan ranting kecil di tangannya.


"Disini dingin sekali, Paman, aku belum pernah tinggal di negara dingin seperti ini," ucapku mengabaikan tawa Paman Azel.


"Ini bukan negara kita, Naya. Negara kita daerah panas, matahari bersinar cerah sepanjang tahun, hujan pun hanya sesekali, tapi air sungai terus mengalir tanpa pernah kekeringan. Tapi ... ah, kamu masih terlalu kecil untuk memahami semua masalah yang terjadi." Paman Azel menepuk bahuku dua kali, "sekarang cuci mukamu bersama Adara di sungai, kita langsung latihan, setelah makan pagi, kita harus langsung ke Kelden pagi ini."


Aku diam tak menanggapi Paman Azel.

Lihat selengkapnya